Sebuah riwayat dari Asma' binti Abu Bakar yang menanyakan prihal ibunya yang non-muslimah kepada Nabi, apakah boleh bersilaturrahim dengannya, lalu dijawab oleh Nabi: "Sambutlah ibumu dan bersilaturÂrahimlah dengannya". (H.R. al-Hakim). Seperti kita ketahui, ibu Asma’ saat itu masih musyrik. Masih banÂyak keluarga Nabi yang juga masih musyrik, termasuk kakeknya sendiri, Abdul Muthalib, yang hingga wafatÂnya tidak mengucapkan dua kalimat syahadat, tetapi luar biasa respeknya Nabi, sang cucu, terhadapnya.
Dalam kesempatan lain, Aisyah menceritakan suatu ketika kelompok Yahudi datang kepada Nabi sambil mengatakan: "Assamu 'alaikum" (Kebinasaan bagimu). Memang sepintas kedengaran dengan kata "Assalamu 'alaikum" (keselamatan bagimu). Aisyah menjawabÂnya: "Wa 'alaikumussam walla'nah" (kebinasaan dan laknat Allah bagimu). Nabi menegur 'Aisyah, isterinya, dengan mengatakan: "Pelan-pelan wahai 'Aisyah, sesungguhnya Allah Swt menyukai kelembutan di dalam setiap persoalan". 'Aisyah menjawab: "Apakah engkau tidak mendengarkan apa yang mereka katakan kepadamu?" Nabi menjawab: "Kamu sudah menjawab mereka dengan "Wa ‘alaikumussam".
Dua kasus di atas cukup menjadi bukti bagaimana Nabi teladan umat Islam begitu ramah dan lembut memperlakukan orang-orang non-muslim. Ibunya Asma', sang mertua Nabi diminta untuk memperlakuÂkan secara terhormat dan manusiawi kepada ibunya, sungguhpun ia seorang non-muslim. Bahkan Nabi meminta agar sering mendatangi untuk bersilaturrahim dengannya. Sekalipun berbeda agama, kalau kerabat tetap harus berprilaku baik dan respek terhadap merÂeka. Agama tidak boleh menjadi jarak antara satu sama lain. Yang penting di sini ada saling pengertian.
Kisah kedua, nyata-nyata kelompok non-muslim yang bertamu kepada Nabi menunjukkan itikad kurang baik, mendoakan Nabi binasa, lalu 'Aisyah membalasÂnya dengan kalimat sepadan. Nabi bukannya menegur tamu yang kurang terpuji itu tetapi malah menegur isterinya agar tetap bersikap lemah lembut terhaap tamu. Nabi menyadari betul apa arti kemanusiaan dan bagaimana cara menaklukkan jiwa yang keras. Nabi sering membalas orang yang selalu melancarÂkan serangan dengan cara-cara lembut, dan ternyata hasilnya sangat menakjubkan, orang-orang yang menyerang Nabi itu takluk dengan kelembutan Nabi. Seandainya Nabi melawannya dengan kekerasan yang sama maka tentu tidak bisa kita bayangkan apa yang akan terjadi. Itulah pelajaran kepribadian dari Nabi.
Jika setiap kekerasan dihadapi dengan kekerasan, jika setiap cemoohan dibalas dengan cemoohan, dan jika setiap penghinaan dibalas dengan penghinaan, maka ketegangan akan mewarnai kehidupan kita. Kadang-kadang kita memang harus menempatkan diri kita sebagai "kakak" yang kadangkala harus menÂgalah terhadap "adik". Jika ada orang menghina kita, anggaplah mereka itu "adik" dan kita sebagai "kakak". Pada akhirnya sang adik akan lebih membutuhkan figur sang "kakak". Yang menjadi masalah kalau tidak ada yang mau menjadi "kakak", semuanya mau menjadi "adik". Mari kita berupaya agar kita semua menjadi "kakak", supaya kehidupan di dalam berbangsa dan bermasyarakat tenteram adanya.
Perbedaan agama, kepercayaan, aliran, mazhab, dan ikatan primordial tidak boleh penghalang untuk menjalin silaturrahim satu sama lain. Perbedaan yang terjadi di antara makhluk Allah Swt harus dianggap sebagai sunnatullah, yang tak boleh dibantah oleh siapapun. Perbedaan harus dianggap sebagai sebuah rahmat, kalua perlu kita merayakan perbedaan itu.
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.