Dari cuplikan sejarah di atas dapat difahami bahwa Islam sepertinya tidak memiliki suatu sistem yang baku di dalam hal penentuan siaÂpa sumber dan pelaksana kekuasaan, apa dasarnya, bagaimana cara menentukan dan keÂpada siapa kewenangan melaksanakan kekuaÂsaan itu diberikan, kepada siapa pelaksana itu bertanggung jawab, dan bagaimana bentuk tanggung jawabnya. Pertanyaan seperti ini ditaÂmbah dengan pengalaman sejarah Nabi dan para sahabat dan penerusnya mempersulit setÂiap orang yang akan memikirkan sebuah konsep negara Islam. Sejarah suksesi dalam Islam tidak linial dan tidak tunggal melainkan beragam.
Tidak adanya penjelasan apalagi ketegasan mengenai suksesi di dalam Islam menjadi isyarat bahwa urusan suksesi adalah masalah kontemporer dan terkait dengan obyektifitas perkembangan masyarakat. Masalah sukseÂsi dapat dikategorikan sebagai urusan dunÂiawi yang dalam penyelesaiannya Nabi pernah mengatakan:
Antum a’lamu bi umuri dunyakum (kalian lebih tahu menyangkut urusan kedunÂiaannya). Siapa tahu dan kita berharap, IndoneÂsia bisa menyumbangkan model suksesi yang ideal bagi setiap negara, khususnya negara-negara muslim. Kredibilitas pemilu yang akan datang akan ikut menentukan obsesi itu.
Dari pengalaman suksesi Nabi sampai Ali ibn Abi Thalib dapat disaksikan bagaimana pluralÂnya pengalaman suksesi di dalam dunia Islam. Padahal, masa Nabi dan masa sahabat serÂing dipersepsikan sebagai peletakan pondasi awal masyarakat Islam. Apa yang terjadi di daÂlam generasi awal muslim, yakni di masa Nabi dan sahabat, diharapkan menjadi pedoman di dalam berbagai aspek kehidupan dunia Islam pada masa berikutnya. Akan tetapi dalam dunia politik, khususnya pengalaman suksesi perganÂtian kepemimpinan, samasekali tidak ditunjukÂkan sebuah pengalaman baku yang dapat diÂjadikan standar. Silih berganti terjadi pergantian tak satu pun yang sama, artinya setiap perganÂtian tokoh pemimpin memiliki kasus pemilihanÂnya sendiri. Apakah ini isyarat bahwa suksesi tidak mesti terikat pada salahsatu metode, atau harus mengikuti satu-satunya metode? JawaÂbannya ternyata ialah diserahkan kepada konÂdisi obyektif dan situasi masyarakat setempat. Jika dalam keadaan darurat menempuh pemiliÂhan darurat dan jika dalam keadaan stabil dan normal mengikuti metode yang sesuai dengan keadaan setempat.
Perbedaan gaya suksesi kepemimpinan Nabi dan para Khulafa al-Rasyidin memberikan isyarat bahwa etika politik dalam Islam adalah mengikuti persepakatan para pihak yang terliÂbat di dalam proses pergantian kepemimpinan. Yang penting ialah ada proses musyawarah dan dialog dilakukan untuk mengeliminir perbeÂdaan atau kemungkinan konflik yang akan terÂjadi. Hal-hal yang mungkin terjadi dalam, misÂalnya adanya ketidak puasan penuh kalangan tertentu itu merupakan resiko sebuah kemerdeÂkaan berpendapat dan kemerdekaan untuk berbeda pendapat. Yang penting bagaimana dalam pemilihan kepemimpinan tidak terjadi fitÂnah yang bisa merusak persatuan dan keutuÂhan umat. Nabi dan para sahabat mencontohÂkan bagaimana mengakhiri sebuah perbedaan pendapat dengan penuh akhlaqul karimah.