Surat Nabi ini luar biasa. Selain memberikan gambaran kearifan Nabi terhadap umat non-muslim, juga secara inplisit Nabi tidak pernah merasa terancam dengan kehadiran rumah-rumah agama umat lain. Itulah sebabnya Nabi selalu menginstruksikan agar rumah-rumah ibadah jangan disamakan dengan bangunan-bangunan lain. Mungkin yang lain dapat denÂgan mudah dibongkar atau dapat diruntuhkan tetapi rumah ibadah harus hati-hati. Rumah ibadah mewakili suasana batin para pemeluk agama itu dan jika batin yang disinggung maka itu bentuk penderitaan paling mendalam.
Setiapkali prajuritnya menuju ke medan perang, selalu Nabi menegaskan untuk tidak melakukan lima hal hal, yaitu jangan mengÂganggu kaum perempuan, jangan menggangÂgu anak-anak dan orang-orang tua bangka, jangan merusak rumah-rumah ibadah, dan janÂgan merusak pohon dan tanaman penduduk. Larangan-larangan tersebut sungguh sangat manusiawi. Kaum perempuan yang dianggap lemah dan memiliki status sosial yang sering termarginalkan diberikan instruksi pertama unÂtuk tidak mengganggu kaum perempuan di daÂlam medang jihad. Kaum perempuan sesungÂguhnya adalah ibu yang melahirkan kita. Boleh jadi itu anak dan saudara kita. Dengan melakuÂkan pendhaliman dan kekasaran terhadap merÂeka, apa bedanya jika perlakukan itu ditujuÂkan kepada keluarga dekat kita. Sama dengan anak-anak dan orang tua lemah, sangat tidak adil mendekatinya dengan pendekatan militer. Tawanan perang Badar di Madina tidak dijemur di bawah terik matahari tetapi diikat di masjid sambil diminta mengajarkan keterampilan keÂpada warga masyarakat Madina sesuai dengan bakat keterampilan masing-masing. Ujungnya adalah pembebasan dan kemerdekaan bagi mereka yang secara nyata memberikan keunÂtungan nyata kepada masyarakat.
Larangan merusak rumah-rumah ibadah agama lain sungguh sangat mengesankan. Tradisi ini terus dipertahankan hingga saat ini. Gereja-gereja tua berdiri di mana-mana di seÂtiap negara muslim. Bahkan anggaran peraÂwatannya diberikan dari kas negara yang noÂtabene umumnya dipungut dari umat Islam melalui pundi-pundi amalnya seperti jizyah, hiÂbah, hibah, dan pemasukan lain yang tidah diÂtentukan penggunaannya secara khusus oleh Al-Qur'an dan hadis, seperti zakat dan waqaf. Para sahabat (Khulafa' al-Rasyidun) memberi kesempatan umat beragama lain beribadah di rumah ibadah mereka masing-masing. Jika ada rumah ibadah yang roboh dan menyebabkan warganya terlunta-lunta di dalam menjalankan ibadahnya, maka umat Islam diminta untuk tuÂrun tangan membantu saudaranya, yang pentÂing tidak diambil dari Zakat dan Waqaf, karena itu peruntukannya sudah jelas.