Ayat jilbab, juga turun berkenaan seorang perempuan terhormat bermaksud membuang hajat di belakang rumah di malam hari tanpa menggunakan jilbab, maka datanglah seorang laki-laki iseng mengganggunya karena dikira buÂdak. Peristiwa ini menjadi sebab turunnya Q.S. al-Ahdzab/33:33. Menurut Al-'Asymawi dan MuÂhammad Syahrur, terkait dengan alasan dan moÂtivasi tertentu (illat); karenanya berlaku kaedah: Suatu hukum terkait dengan illat. Dimana ada ilÂlat di situ ada hukum. Jika illat berubah maka huÂkum pun berubah. Ayat hijab, sangat terkait denÂgan keterbatasan tempat tinggal Nabi bersama beberapa isterinya dan semakin besarnya jumlah sahabat yang berkepentingan dengannya. Untuk mencegah terjadinya hal-hal yang tidak diinginkÂan (perlu diingat, ayat hijab ini turun setelah kejaÂdian tuduhan palsu/hadits al-ifk terhadap 'Aisyah), Umar mengusulkan agar dibuat sekat (Arab:hijab) antara ruang tamu dan ruang privat Nabi. Tetapi tidak lama kemudian turunlah ayat hijab.
Wacana jilbab dalam kitab-kitab fikih banyak dibicarakan urusan ibadah (kitab al-'ibadat), terÂutama aurat di dalam dan di luar shalat, seperti bisa dilihat dalam kitab Al-Fiqh 'Ala al-Madzahib al-Arba'ah (Fikih Emapat Mazhab, yakni Abu HanÂifah, Malik, Syafi', dan Ahmad Ibn Hanbal) karanÂgan Abd al-Rahman al-Jaziri. Mazhab Abu HaniÂfah, sebagaimana diungkapkan Al-Samarkandi dalam Tuhfat al-Fuqahat, membagi dua macam aurat, yaitu aurat di dalam dan di luar shalat. Di dalam shalat aurat perempuan seluruh anggota badan kecuali muka, telapak tangan, dan telapak kaki. Sedangkan di luar shalat berlaku ketentuan lain tentang tata krama pergaulan keluarga sebaÂgaimana disebutkan dalam Q.S.Al-Nur/34:31).
Mazhab Malikiyah, sebagaimana dilaporkan Khalil Ibn Ishaqal-Jundi dalam Al-Mukhtashar, aurat perempuan semua anggota badan kecuaÂli muka dan telapak tangan. Kaki tidak termasuk pengecualian. Mazhab Syafi'iyah, sebagaimaÂna dapat dilihat dalam beberapa karyanya yang populer di Indonesia, hampir sama denÂgan mazhab sebelumnya, aurat perempuan keÂcuali muka, telapak tangan dan telapak kaki. Hanya mazhab ini lebih terperinci membedaÂkan kedudukan auart di dalam atau di luar lingÂkungan keluarga dekat (muhrim). Yang menarik dari Imam Syafi', pendapatnya dalam qaul jaÂdid lebih ketat ketimbang dalam qaul jadid..
Mazhab Ahmad Ibn Hanbal, sebagaimana diÂungkapkan Mansur al-Bahuti dalam Kasysyaf al- Qina' 'an Matn al-Qina', aurat perempuan dewasa kecuali muka dan telapak tangan, baik di dalam maupun di luar shalat, dengan mengutip hadis Nabi: Perempuan adalah aurat (
al-mar'ah 'auÂrah). Mazhab Imam dalam Syi'ah agaknya lebih ketat di banding dengan semua imam mazhab di atas. Mungkin ini ada kaitannya dengan Iran turun temurun menjadi kota penting dalam tradisi SasaÂnia-Persia yang memiliki sejarah panjang tentang penggunaan jilbab (Chadar). Imam al-Khu'i daÂlam Minhaj al-Shalihin, dan Imam Khumaini daÂlam Tahrir al-Washila, berpendapat perempuan diharuskan menutup seluruh anggota badan tanÂpa pengecualian, termasuk muka, terkecuali di depan suami atau muhrim.