Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Membaca Trend Globalisasi (37)

Karakter Khusus Nilai Universal Islam: Trend Jilbab (6): Wacana Jilbab dalam Fikih

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/nasaruddin-umar-5'>NASARUDDIN UMAR</a>
OLEH: NASARUDDIN UMAR
  • Selasa, 15 Januari 2019, 09:29 WIB
Karakter Khusus Nilai Universal Islam: Trend Jilbab (6): Wacana Jilbab dalam Fikih
Nasaruddin Umar/Net
DALAM artikel terdahulu ayat-ayat jilbab atau himar turun untuk menanggapi model pakaian perempuan keti­ka itu menggunakan pentup kepala (muqani') tetapi tidak menjangkau bagian dada, sehingga bagian dada dan leher tetap kelihatan. Menu­rut Muhammad Sa’id al- 'Asymawi, Q.S. al-Nur/24:31 turun untuk mem­berikan pembedaan antara perempuan mukmin dan perempuan selainnya, tidak dimaksudkan untuk menjadi format abadi (uridu fihi wadl' al-tamyiz, wa laisa hukman muabbadan).

Ayat jilbab, juga turun berkenaan seorang perempuan terhormat bermaksud membuang hajat di belakang rumah di malam hari tanpa menggunakan jilbab, maka datanglah seorang laki-laki iseng mengganggunya karena dikira bu­dak. Peristiwa ini menjadi sebab turunnya Q.S. al-Ahdzab/33:33. Menurut Al-'Asymawi dan Mu­hammad Syahrur, terkait dengan alasan dan mo­tivasi tertentu (illat); karenanya berlaku kaedah: Suatu hukum terkait dengan illat. Dimana ada il­lat di situ ada hukum. Jika illat berubah maka hu­kum pun berubah. Ayat hijab, sangat terkait den­gan keterbatasan tempat tinggal Nabi bersama beberapa isterinya dan semakin besarnya jumlah sahabat yang berkepentingan dengannya. Untuk mencegah terjadinya hal-hal yang tidak diingink­an (perlu diingat, ayat hijab ini turun setelah keja­dian tuduhan palsu/hadits al-ifk terhadap 'Aisyah), Umar mengusulkan agar dibuat sekat (Arab:hijab) antara ruang tamu dan ruang privat Nabi. Tetapi tidak lama kemudian turunlah ayat hijab.

Wacana jilbab dalam kitab-kitab fikih banyak dibicarakan urusan ibadah (kitab al-'ibadat), ter­utama aurat di dalam dan di luar shalat, seperti bisa dilihat dalam kitab Al-Fiqh 'Ala al-Madzahib al-Arba'ah (Fikih Emapat Mazhab, yakni Abu Han­ifah, Malik, Syafi', dan Ahmad Ibn Hanbal) karan­gan Abd al-Rahman al-Jaziri. Mazhab Abu Hani­fah, sebagaimana diungkapkan Al-Samarkandi dalam Tuhfat al-Fuqahat, membagi dua macam aurat, yaitu aurat di dalam dan di luar shalat. Di dalam shalat aurat perempuan seluruh anggota badan kecuali muka, telapak tangan, dan telapak kaki. Sedangkan di luar shalat berlaku ketentuan lain tentang tata krama pergaulan keluarga seba­gaimana disebutkan dalam Q.S.Al-Nur/34:31).

Mazhab Malikiyah, sebagaimana dilaporkan Khalil Ibn Ishaqal-Jundi dalam Al-Mukhtashar, aurat perempuan semua anggota badan kecua­li muka dan telapak tangan. Kaki tidak termasuk pengecualian. Mazhab Syafi'iyah, sebagaima­na dapat dilihat dalam beberapa karyanya yang populer di Indonesia, hampir sama den­gan mazhab sebelumnya, aurat perempuan ke­cuali muka, telapak tangan dan telapak kaki. Hanya mazhab ini lebih terperinci membeda­kan kedudukan auart di dalam atau di luar ling­kungan keluarga dekat (muhrim). Yang menarik dari Imam Syafi', pendapatnya dalam qaul ja­did lebih ketat ketimbang dalam qaul jadid..

Mazhab Ahmad Ibn Hanbal, sebagaimana di­ungkapkan Mansur al-Bahuti dalam Kasysyaf al- Qina' 'an Matn al-Qina', aurat perempuan dewasa kecuali muka dan telapak tangan, baik di dalam maupun di luar shalat, dengan mengutip hadis Nabi: Perempuan adalah aurat (al-mar'ah 'au­rah). Mazhab Imam dalam Syi'ah agaknya lebih ketat di banding dengan semua imam mazhab di atas. Mungkin ini ada kaitannya dengan Iran turun temurun menjadi kota penting dalam tradisi Sasa­nia-Persia yang memiliki sejarah panjang tentang penggunaan jilbab (Chadar). Imam al-Khu'i da­lam Minhaj al-Shalihin, dan Imam Khumaini da­lam Tahrir al-Washila, berpendapat perempuan diharuskan menutup seluruh anggota badan tan­pa pengecualian, termasuk muka, terkecuali di depan suami atau muhrim. 

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA