Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Membaca Trend Globalisasi (22)

Karakter Khusus Nilai Universal Islam: Memperkenalkan Perpustakaan Modern

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/nasaruddin-umar-5'>NASARUDDIN UMAR</a>
OLEH: NASARUDDIN UMAR
  • Jumat, 28 Desember 2018, 10:32 WIB
Karakter Khusus Nilai Universal Islam: Memperkenalkan Perpustakaan Modern
Nasaruddin Umar/Net
TIDAK berlebihan jika dika­takan bahwa Dunia Islam abad pertengahan merintis perpustakaan terlengkap dan modern. Sulit dibayang­kan 1000 tahun lalu sudah ada perpustakaan Baitul Hikmah yang mengoleksi buku lebih dari 4 juta buah, kemudian buku-buku itu dibuang ke sungai Tigris oleh Pasukan Mongol yang menguasai Bagdad ketika itu, sehingga airnya menjadi hitam karena tinta selama ber­bulan-bulan. Meskipun turunan pasukan Mon­gol pada akhirnya memeluk agama Islam dan ikut menyesali perbuatan kakeknya yang ber­tindak kejam dan membakar Baitul Hikmah itu.

Bukan hanya di Baitul Hikmah, kerajaan-kerajaan lain dunia Islam berlomba mengolek­si buku-buku dari berbagai bahasa. Perpus­takaan dunia Islam masa silam yang pernah jaya dengan mengoleksi berbagai karya-karya langka antara lain: Baitul Hikmah di Bagdad, Al- Haidariyah di An-Najaf, Ibnu Sawwar di Basrah, Sabur, Darul Hikamah di Kairo, dan sejumlah perpustakaan di sekolah/madrasah atau pusat-pusat kajian. Selain perpustakaan terbesar tadi, masih ada sejumlah perpustakaan khusus dengan masing-masing koleksinya yang secara khusus, seperti perpustakaan semi umum yang didirikan oleh para khalifah. Di antara perpusta­kaan tersebut ialah: Perpustakaan An-Nashir li Dinillah, Perpustakaan Al-Muzta'sim Billah, dan Perpustakaan Khalifah–Khalifah Fathimiyah.

Masih ada juga perpustakaan yang meru­pakan perpustakaan pribadi yang memiliki se­jumlah koleksi, seperti yang dilakukan oleh ke­luarga para raja. Perpustakaan jenis ini antara lain: Perpustakaan Al-Fathu Ibnu Haqam, Per­pustakaan hunain Ibnu Ishaq, Perpustakaan Ib­nul Harsyab, Perpustakaan Al-Muwaffaq Ibnul Mathran, Perpustakaan Al-Mubasysir Ibnu Fa­tik, dan Perpustakaan Jamaluddin Al-Qifthi.

Di abad petengahan, perpustakaan-perpusta­kan dunia Islam ramai dikunjungi dari berbagai kalangan, karena di Eropa ketika itu masih gelap-gulita. Mungkin sudah ada koleksi di gereja-gere­ia atau di lingkungan istana, tetapi samasekali tidak bisa dibandingkan dengan perpustakaan di dalam dunia Islam. Lagi pula, perpustakaan di dalam dunia Islam ketika itu bukan hanya berdiri sendiri sebagai perpustakaan (ruang baca) tetapi betul-betul digunakan sebagai pusat pember­dayaan masyarakat. Para ahli bahasa diberikan biaya yang cukup untuk menerjemahkan buku-buku yang berbahasa asing ke dalam bahasa Arab atau bahasa Persia.

Gairah keilmuan orang-orang di abad perten­gahan memang luar biasa. Bayangkan mis­alnya Ibn Hazm, yang dikenal sebagai ulama yang hebat, mampu menulis kitab 400 jilid den­gan perkiraan sekitar 80.000 halaman. Nama lain ialah Ibn Hajar al-’Asqallani yang menulis Syarah Hadis Imam Bukhari yang berjilid-jilid. Pernah ada orang yang menghitung, jika dihi­tung halaman buku yang pernah ditulis oleh Al- Thabari dikalikan dengan umurnya maka rata-rata sehari menulis sekitar 5 halaman. Nama lain yang tidak asing di Indonesia ialah Imam Syafi', Imam Al-Gazali, dan Ibn 'Arabi, yang menulis kitab berjilid-jilid dari berbagai disiplin ilmu. Gairah ilmiah di abad pertengahan belum bisa ditandingi oleh para ilmuan pada abad se­sudahnya.

Sifat perpustakaan dunia Islam ketika itu antara lain: 1) Untuk mengoleksi buku-buku dari mana pun asalnya untuk memberikan wawasan kepada ilmuan muslim. 2) Untuk disalin atau di­gandakan ke daerah-daerah lain, maklum ke­tika itu belum ada foto copy atau mesin cetak canggih seperti sekarang. 

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA