Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Membaca Trend Globalisasi (10)

Karakter Khusus Nilai Universal Islam: Pembedaan Astrologi dan Astronomi

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/nasaruddin-umar-5'>NASARUDDIN UMAR</a>
OLEH: NASARUDDIN UMAR
  • Sabtu, 15 Desember 2018, 09:12 WIB
Karakter Khusus Nilai Universal Islam: Pembedaan Astrologi dan Astronomi
Nasaruddin Umar/Net
SEKIAN lama dunia as­trologi menguasai kosmolo­gi dunia. Kehadiran Islam membawa perubahan da­lam dunia kosmologi kare­na para ilmuan Islam men­emukan kemampuan untuk membedakan antara as­trologi yang lebih meneka­nkan mistis yang irrasional dan cenderung menyesatkan. Para ilmuan Is­lam di zaman pertengahan memilah antara as­trologi dengan astronomi yang berdasar pada kajian rasional yang berdasar pada fakta-fakta empiris.

Dunia Astronomi atau Ilmu Falak harus ber­terima kasih kepada dunia Islam. Peletak dasar-dasar astronomi modern yang kemudi­an berkembang pesat sesudahnya hingga saat ini berkat kegigihan ilmuan Islam, khususnya di dalam zaman pemerintahan Kerajaan Um­aiyah dan Abbasiah. Nama-nama astronom terbesar di zaman Umaiyah antara lain Khalid bin Yazid Al-Amawi, yang juga dikenal dengan nama Hakim Ali Marwan (w.85H). Ia dianggap orang pertama yang menerjemahkan buku-buku termasuk buku-buku ilmu perbintangan pada pertengahan kurun ke-4 Hijrah. Di zaman pemerintahan kerajaan Abbasiah, dikenal juga nama yang amat popular dalam bidang astrono­mi, yaitu Khalifah Abu Jaffar al-Mansur, khalifah pertama yang memberi perhatian kepada kaji­an astronomi. Ia menganggarkan biaya pene­litian dalam bidang astronomi sangat besar. Ia menggunakan bagian dari istana sebagai labo­ratorium dan dikumpulkan para ilmuan astrono­mi untuk bekerja di dalamnya dengan upah yang besar. Ia mengangkat Naubakh sebagai pimpinan proyek ini. Mereka semua melakukan penelitian mendalam, termasuk mempelajari warisan ilmiah bidang yang sama yang pernah dikembangkan di Yunani, Parsi, dan India.

Perkembangan berikutnya semakin canggih lagi, terutama dengan tampilnya Mohammad Al-Fazari, sebagai orang Islam yang pertama yang menemukan astrolube (jam matahari un­tuk mengukur tinggi dan jarak bintang). Buku karyanya diterjemahkan ke dalam bahasa Latin pada abad pertengahan oleh Johannes de Luna Hispakusis, yang kemudian dijadikan buku rujukan utama dalam bidang astrolabe di sejumlah universitas di Eropa. Selain karya Al-Fazari, masih ada sejumlah tokoh ilmuan astronomi dan karya-karyanya menghiasi per­pustakaan universitas-universitas Eropa, ketika itu Amerika Serikat belum lahir. Di antara tokoh itu ialah Abu Sahl bin Naubakh, Ali bin Isa yang dikenal sebagai Phoenix pada zamannya (Za­man Abbasiyah).

Kota Baghdad sendiri telah didirikan sebuah observatorium di zaman Al-Makmun. Di zaman Al-Makmun juga telah didirikan sebuah obser­vatorium yang digunakan untuk mengukur daya dan kekuatan cahaya matahari. Semakin ban­yak lagi observatorium di dirikan di beberapa tempat dengan spesifikasinya masing-masing, seperti observatorium di Bukit Gaisun di Dam­askus, untuk mengamati equinox, gerhana bin­tang berekor (comet) dan berbagai fenomena langit lainnya. Kota Bangdad dan Damaskus tampil sebagai kota sains yang belum pernah ada sebelumnya dalam sejarah kemanusiaan.

Puncak kejayaan astronomi di dalam dun­ia Islam ditandai dengan tampilnya Al-Battani (w.930M/317H) yang mengembangkan penelitian yang bukunya menjadi sangat tersohor di Eropa setelah diterjemahkan oleh Nallino pada tahun 1903M. Karya Al-Battani inilah yang mengispira­si penemuan jam dinding dan jam tangan seperti yang ada saat ini. Al-Battani juga yang menemu­kan secara pasti setahun sama dengan 356 hari, 5 jam, 46 menit, dan 24 detik.

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA