Astrolabe yang paling pertama dibuat pada 1.500 tahun lalu oleh ilmuan Islam. Keitika dunÂia Islam menguasai Andalusia (Spanyol) sekitar abad ke-12 M, sudah ditemukan tidak kurang dari 800 Astrolabe dengan tingkat akurasi yang tinggi. Berbagai spesifik Astrolabe sudah digunakan di sejumlah laboratorium, bukan hanya untuk keperÂluan mengajar tetapi juga untuk kebutuhan prakÂtis, misalnya untuk melihat dan menganalisis benÂda-benda langit guna keperluan penentuan waktu dan selanjutnya untuk kepentingan pertanian, peÂlayaran, dan penentuan musim. Astrolabe juga sering juga digunakan untuk kepentingan astroloÂgi, yang dihubungkan dengan ramalan nasib sesÂeorang. Karya-karya monumental ilmuan muslim di abad pertengahan ini diakui oleh para ilmuan fisika dunia Barat.
Banyak factor yang mendukung perkembanÂgan dunia Astrolabe, di antaranya ialah: 1) KeÂbutuhan ketepatan waktu sangat diperlukan untuk pelaksanaan shalat lima waktu dan imÂsak, yaitu Shalat Subuh, Shalat Dhuhur, ShaÂlat Ashar, Shalat Isya, dan Imsak, batas waktu untuk memulai puasa, baik puasa sunnat sepÂerti Senik dan Kamis maupun puasa RamaÂdhan. 2) Kebutuhan ketepatan arah kiblat, agar shalat yang seharusnya menghadap ke kiblat tidak salah arah. Termasuk juga pada pembanÂgunan masjid dan mushallah, sangat penting penggunaan alat-alat ukur seperti Astrolabe ini. 3) Kebutuhan untuk penentuan kepastian terÂwujudnya hilal (wujud al-hilal) guna penentuan tanggal 1 Ramadhan untuk menentukan puasa Ramadhan, tanggal 1 Syawal untuk penentuan hari raya Idul Fitri, dan tanggal 1 Zulhijjah untuk penentuan Idul Adha pada tanggal 10 Zulhijjah. 4) Untuk keperluan nafigasi para saudagar dan muballig muslim yang terkenal berani menemÂbus ganasnya ombak laut dan panas teriknya padang pasir. Kebutuhan-kebutuhan praktis seperti ini mendorong para ilmuan Islam untuk senantiasa berkreasi.
Tokoh utama yang merintis Asrolabe ialah Mohammad Al-Fazari yang pertama menemuÂkan astrolabe kemudian dijadikan jam matahari untuk mengukur tinggi dan jarak bintang) dan Abu Sahl bin Naubakh, Ali bin Isa yang dikenal sebagai Phoenix pada zamannya (Zaman AbÂbasiyah). Kedua tokoh ini sesungguhnya bukan yang pertama merintis Astrolabe. Yang paling pertama di dalam catatan sejarah Astroblabe ialah Hipparchus (w.180SM) ilmuan kelahiran Nicaea Asia Kecil, sekarang di kota Iznik, Turki dan Apollonius (w.225SM), seorang ilmuan YuÂnani, namun karya-karya Astrolabenya masih sangat sederhana characteristics.
Hipparchus did not invent the astrolabe, but he did refine the projection theory. Dunia Astrolabe selanjutnya berkembang peÂsat terutama di masa pemerintahan kerajaan UmÂayah dan Kerajaan Abbasiyah, yang memberikan apresiasi kepada tikoh-tokoh keilmuan.