Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Membaca Trend Globalisasi (5)

Paralel Antara Kontinutas Dan Orisinalitas

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/nasaruddin-umar-5'>NASARUDDIN UMAR</a>
OLEH: NASARUDDIN UMAR
  • Minggu, 09 Desember 2018, 09:09 WIB
Paralel Antara Kontinutas Dan Orisinalitas
Nasaruddin Umar/Net
ADALAH benar Islam tidak diturunkan di ruang kosong yang hampa budaya dan peradaban. Islam lahir di dalam sebuah dunia yang sudah sarat dengan bu­daya dan peradaban. Nabi Muhammad Saw sebagai pembawa ajaran Islam tidak pernah mengklaim sebagai perintis budaya dan peradaban yang samasekali baru. Ia bahkan dengan tawadhu dikatakan da­lam hadisnya: "Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak mulia." Ia tidak pernah menolak budaya dan peradaban dari luar. Ia juga tidak pernah mematenkan budaya dan perada­bannya yang dirasa positif untuk kemanusiaan. Ia menyerukan untuk mengejar pengetahuan walau sampai ke tanah Cina (utulub al-'ilm wa lau bis Shin). Ia juga mengatakan: "Hikmah (peradaban) adalah milik umat Islam, ambillah di manapun kalian temukan" (al-hikmah dhalah al-mu’min fa­haitsu wajadaha fa huwa ahaq biha). Al-Qur’an juga sejak awal menyerukan pentingnya meme­lihara kontinuitas budaya dan peradaban. Segala sesuatu yang positif pada umat-umat terdahulu harus dilestarikan, karena dengan tegas dikata­kan: "Kami tidak membeda-bedakan antara ses­eorang pun (dengan yang lain) dari rasul rasul- Nya" (la nufarriq baina ahadin min rusulih). (Q.S. al-Baqarah/2:285).

Pola imitatif budaya dan peradaban dalam Islam harus dianggap sebagai sesuatu yang niscaya. Mungkin inilah yang dipopulerkan Umar ibn Khaththab sebagai bid'ah hassa­nah, sebuah kelanjutan tradisi yang konstruk­tif. Jika kita berbicara tentang kebudayaan dan peradaban Islam berarti kita berbicara tentang tradisi luhur kemanusiaan yang diwarisi secara kumulatif dari zaman ke zaman. Kebudayaan dan peradaban (civilization/al-hadharah) Islam bukanlah sesuatu yang berdiri sendiri dan ter­pisah dengan budaya dan peradaban sebelum­nya. Soal kehadiran Islam memberikan corak dan warna baru memang ia dan hal ini sulit di­ingkari. Di manapun dan sejak kapapun dalam lintasan sejarah kemanusiaan, selalu ada sin­tesa dan imitasi budaya dan peradaban. Hal ini lumrah dan wajar, karena bukankah padamu­lanya anak amanusia ini berasal dari sepasang kakek dan nenek (Adam dan Hawa)?

Peta budaya dan peradaban kemanusiaan dari zaman ke zaman memiliki nilai-nilai univer­sal di samping nilai-nilai lokalnya. Islam sebagai jaran yang sarat dengan nilai-nilai universal su­dah barang tentu memiliki pola dialektik sejarah­nya. Dengan kata lain, satu sisi harus memper­tahankan orisinalitas dan unsur-unsurnya yang genuine, tetapi pada sisi lain harus mampu me­nembut batas-batas geografis ddengan sepa­rangkat nilai-nilai lokalnya. Dalam kenyataan di­alektika sejarah Islam, selain harus "menjinakkan" sasaran-sasarannya maka ia pun harus dijinak­kan oleh sasaran-sasarannya. Sebagai contoh, selain harus mengislamkan Mesir, Persia, anak benua India, dan Nusantara, maka terlebih da­hulu ia harus mengalami proses pemesiran, pe­mersian, pengindian, dan penusantaraan. Sama seperti Islam dalam periode awal, Islam yang la­hir dan tumbuh di jazirah Arab lalu berekspansi keluar di kwasan sekitarnya, maka nilai-nilai Is­lam pun harus mengalami penyesuaian ke dalam dua konteks peradaban dengan apa yang disebut Marshall Hodgson dengan Irano-Semit di bagian Timur dan Afro-Erasia di bagia Barat.

Ternyata di gurun pasir tandus ini terlahir se­orang anak yatim bernama Muhammad yang kenudian dikenal sebagai Nabi dan Rasul. Nabi Muhammad sepintas terlahir sebagai manusia biasa dari keluarga yang biasa-biasa. Namun sepak terjan Nabi Muhammad betul-betul me­nakjubkan. Tidak pernah ditemukan sosok to­koh yang gagasan dan misi yang diembannya dianut oleh separuh belahan bumi.

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA