Hal tersebut dikatakan Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal OJK Hoesen saat memberi sambutan dalam acara "Seminar Outlook Pasar Modal Syariah 2019" di Hotel Borobudur, JaÂkarta, kemarin.
Hoesen mengatakan, dengan mayoritas penduduk Indonesia beÂragama Islam, potensi pertumbuÂhan produk keuangan syariah bisa berkembang. Namun, sayangnya yang terjadi sebaliknya.
Pertumbuhan ekonomi syariah cenderung lambat dibandingkan produk konvensional. Salah satu penyebabnya adalah keuntungan produk syariah tak sebesar produk konvensional. Selain itu. pengetahuan masyarakat mengeÂnai instrumen syariah juga masih minim sehingga merasa lebih aman menggunakan produk konvensional.
"Keberpihakan kita terhadap ekonomi syariah adalah kepada prinsip-prinsip syariahnya, buÂkan semata-mata mengejar
yield (untungnya)," ujar Hoesen.
Menurut dia, perlu ada perubaÂhan pola pikir investor terhadap produk syariah yang seolah terÂpinggirkan. Ke depannya, jangan lagi investor terjebak dengan instrumen konvensional karena cara berpikirnya untuk mengejar keuntungan.
Oleh karena itu, OJK menÂdorong keberpihakan terhadap pasar modal dan ekonomi syaÂriah lebih besar sehingga bisa bersaing dengan produk konÂvensional. "Bukan terbatas pada produk dan akad, tapi pemahaÂman bahwa pasar modal syariah ini merupakan tuntutan kebutuÂhan umat Islam di Indonesia," ujar Hoesen.
Untuk diketahui, hingga 23 September 2018, OJK telah menerbitkan Daftar Efek Syariah sebanyak 407 saham dan berlaku efektif sejak 1 Desember 2018. Jumlah tersebut meningkat 6,5 persen dibandingkan akhir 2017 yang hanya 382 saham.
Sedangkan untuk konstituen Indeks Saham Syariah IndoneÂsia (ISSI) mencapai 391 saham. Jumlah ini meningkat 7,1 persen secara
Year To Date (YTD). Sedangkan dari segi kapitalisasi pasar, terjadi penurunan sebesar 3,7 persen menjadi Rp 3.567 triliÂun per akhir November 2018.
Untuk sukuk, kata dia, terdapat peningkatan jumlah sukuk yang beredar (
outstanding) sebesar 36,7 persen dan nilai sukuk
outÂstanding meningkat 45,2 persen. Saat ini terdapat 108 sukuk korÂporasi
outstanding dengan nilai 22,8 triliun rupiah.
"Jumlah itu lebih besar dibandingkan
outstanding pada tahun 2017 dengan jumlah 79 sukuk dan nilai Rp 15,7 triliun," papar Hoesen.
Peningkatan juga terjadi pada instrumen reksa dana syariah. Hoesen memaparkan, jumlah reksa dana syariah meningkat 21,4 persen dan nilai aktiva berÂsih reksa dana syariah meningkat 19,8 persen.
Instrumen Baru OJK bakal menerbitkan inÂstrumen baru untuk mendorong kinerja pasar modal syariah. Apalagi, tahun depan banyak tantangan yang harus dihadapi ekonomi syariah. Misalnya, sepanjang 2018 dan memasuki 2019 terdapat berbagai tantanÂgan baik dari domestik maupun eksternal perlu dihadapi. Mulai dari Bank Sentral Amerika Serikat yang menaikkan suku bunganya menjadi 2,25 persen dan faktor perang dagang. SedangÂkan pada sisi domestik, IndoneÂsia menghadapi tantangan defisit neraca transaksi berjalan.
Sementara itu, Direktur InÂdustri Keuangan nonBank OJK Moch Muchlasin mengatakan, peluang pertumbuhan ekonomi syariah melalui asuransi syariah masih sangat luas. Hingga saat ini pertumbuhan asuransi syariah masih berada di angka 5 persen.
"Untuk memperkuat asuransi syariah ini maka perlu mengÂgaet potensi besar yang saat ini sedang dibidik banyak pihak, yakni milenial," katanya.
Milenial sangat erat kaitanÂnya dengan digitalisasi. Mereka butuh platform yang serba cepat dan mudah. Sehingga di asuransi, akan lebih baik jika mengembangkan aplikaÂsi yang mempermudah akses pada produk, mulai dari proses pendaftaran, pembayaran premi, hingga klaim. ***
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.
BERITA TERKAIT: