Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Peristiwa Kontroversi Yang Dilakukan Nabi & Sahabat (22)

Menganggap Perbedaan Sebagai Sunnatullah

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/nasaruddin-umar-5'>NASARUDDIN UMAR</a>
OLEH: NASARUDDIN UMAR
  • Rabu, 21 November 2018, 08:46 WIB
Menganggap Perbedaan Sebagai Sunnatullah
Nasaruddin Umar/Net
DALAM Islam sendiri su­dah ditegaskan bahwa ke­beradaan multi etnik dan agama tidak mesti dipa­hami sebagai sebuah an­caman. Sebaliknya Islam menganggapnya sebagai sebuah kekayaan yang bisa mendatangkan berbagai berkah. Al-Qur'an pernah menegaskan: Dan jikalau Tuhanmu mengh­endaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kalian (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuan­ya? (Q.S. Yunus/10:99). Perhatikan ayat ini menggunakan kata lau (wa lau sya’ Rabbu­ka), yang dalam kebiasaan Al-Qur'an jika di­gunakan kata lau, bukannya in atau idza yang memiliki arti yang sama, yaitu "jika". Kekhusu­san penggunaan lau adalah isyarat sebuah pengandaian yang tidak akan pernah mungkin terjadi atau terwujud. Kata idza mengisyarat­kan makna kepastian akan terjadinya sesuatu, sedangkan kata in mengisyaratkan kemungki­nan kedua-duanya, bisa terjadi atau bisa tidak terjadi.

Ayat tersebut juga dipertegas potongan ayat berikutnya yang menggunakan kalimat bertan­ya (shigat istifhamiyyah): Apakah kalian (hen­dak) memaksa manusia supaya mereka men­jadi orang-orang yang beriman semuanya? Dalam ilmu Balaghah, salah satu cabang ilmu bahasa Arab, shigat istifhamiyyah tersebut menegaskan ketidakmungkinannya hal yang dipertanyakan.

Menyampaikan misi dakwah dan petun­juk adalah sebuah keniscayaan setiap orang, apalagi tokoh agama, namun untuk menerima atau menolak petunjuk itu hak progregatif Al­lah Swt, sebagaimana dinyatakan dalam Al- Qur’an: Sesungguhnya kamu tidak akan da­pat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya. (Q.S. al- Qashash/28:56).

Banyak ayat lain yang mendukung bahwa perbedaan dan pluralitas di dalam masyarakat sudah merupakan ketentuan Allah Swt. Di da­lam ayat lain Allah Swt lebih tegas meneka­nkan bahwa perbedaan setiap umat sudah dirancang sedemikian rupa: "Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah mengh­endaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan". (Q.S. al-Maidah/5:48). Dalam ayat lain Allah Swt memberikan suatu pernyataan indah: "Jan­ganlah kamu (bersama-sama) masuk dari satu pintu gerbang, dan masuklah dari pin­tu-pintu gerbang yang berlain-lain". (Q.S. Yusuf/12:67).

Kita tidak perlu mempertanyakan mengapa Allah Swt menciptakan hambanya tidak serag­am. Dalam perspektif tasawuf dijelaskan bah­wa semuanya itu sesungguhnya sebagai per­wujudan nama-nama-Nya (al-asma' al-husna') yang bermacam-macam. Setiap nama-nama tersebut menuntut pengejahwentahan di da­lam alam nyata. Orang-orang yang menolak pluralitas dan kemajmukan sosial lalu meng­indokytrinasikan keniscayaan sebuah negeri universal di bawah satu kepemimpinan, bukan saja terlalu sulit diwujudkan tetapi Islam send­iri mengenyampingkan gagasan itu dengan berdasar pada ayat-ayat tersebut di atas.

Bagi kita sebagai warga bangsa Indonesia yang ditakdirkan menjadi negara majmuk dan plural, harus dianggap sebagai sebuah rahmat Tuhan Yang Maha Kuasa. Kenyataan ini bisa menjadi asset bangsa, meskipun juga bisa menjadi sumber ancaman jika salah dalam mengelolanya. Keberadaan multi etnik dan multi agama di Indonesia sejauh ini lebih tam­pak sebagai kekayaan positif. Tugas genersi bangsa ini berikutnya bagaimana menjadikan kemajmukan etnik dan agama sebaga sebuah kekayaan bangsa. Allahu a'lam.

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA