Ayat tersebut juga dipertegas potongan ayat berikutnya yang menggunakan kalimat bertanÂya (shigat istifhamiyyah): Apakah kalian (henÂdak) memaksa manusia supaya mereka menÂjadi orang-orang yang beriman semuanya? Dalam ilmu Balaghah, salah satu cabang ilmu bahasa Arab, shigat istifhamiyyah tersebut menegaskan ketidakmungkinannya hal yang dipertanyakan.
Menyampaikan misi dakwah dan petunÂjuk adalah sebuah keniscayaan setiap orang, apalagi tokoh agama, namun untuk menerima atau menolak petunjuk itu hak progregatif AlÂlah Swt, sebagaimana dinyatakan dalam Al- Qur’an: Sesungguhnya kamu tidak akan daÂpat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya. (Q.S. al- Qashash/28:56).
Banyak ayat lain yang mendukung bahwa perbedaan dan pluralitas di dalam masyarakat sudah merupakan ketentuan Allah Swt. Di daÂlam ayat lain Allah Swt lebih tegas menekaÂnkan bahwa perbedaan setiap umat sudah dirancang sedemikian rupa: "Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghÂendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan". (Q.S. al-Maidah/5:48). Dalam ayat lain Allah Swt memberikan suatu pernyataan indah: "JanÂganlah kamu (bersama-sama) masuk dari satu pintu gerbang, dan masuklah dari pinÂtu-pintu gerbang yang berlain-lain". (Q.S. Yusuf/12:67).
Kita tidak perlu mempertanyakan mengapa Allah Swt menciptakan hambanya tidak seragÂam. Dalam perspektif tasawuf dijelaskan bahÂwa semuanya itu sesungguhnya sebagai perÂwujudan nama-nama-Nya (al-asma' al-husna') yang bermacam-macam. Setiap nama-nama tersebut menuntut pengejahwentahan di daÂlam alam nyata. Orang-orang yang menolak pluralitas dan kemajmukan sosial lalu mengÂindokytrinasikan keniscayaan sebuah negeri universal di bawah satu kepemimpinan, bukan saja terlalu sulit diwujudkan tetapi Islam sendÂiri mengenyampingkan gagasan itu dengan berdasar pada ayat-ayat tersebut di atas.
Bagi kita sebagai warga bangsa Indonesia yang ditakdirkan menjadi negara majmuk dan plural, harus dianggap sebagai sebuah rahmat Tuhan Yang Maha Kuasa. Kenyataan ini bisa menjadi asset bangsa, meskipun juga bisa menjadi sumber ancaman jika salah dalam mengelolanya. Keberadaan multi etnik dan multi agama di Indonesia sejauh ini lebih tamÂpak sebagai kekayaan positif. Tugas genersi bangsa ini berikutnya bagaimana menjadikan kemajmukan etnik dan agama sebaga sebuah kekayaan bangsa.
Allahu a'lam.