Sabab Nuzul ayat ini berawal dari adanya siasat orang-orang musyrik dan munafik yang iri melihat begitu cepat perkembangan umat IsÂlam di madinah. Agama yang baru lahir tetapi begitu cepat meluas ke berbagai wilayah. Atas dasar itu sekelompok kaum musyrik dan muÂnafik membangun masjid tandingan dari masjid Nabi, yakni Masjid Quba. Alasan pembanguÂnannya diperuntukkan kepada orang-orang lemah, orang tua yang tidak kuat berjalan jauh menuju masjid Nabi. Nabi pun pernah diundang untuk berkunjung ke masjid itu dan Nabi juga bermaksud untuk mengunjungi masjid baru itu. Akan tetapi menjelang Nabi ke masjid itu turun ayat: Dan (di antara orang-orang munafik itu) ada orang-orang yang mendirikan masjid unÂtuk menimbulkan kemudaratan (pada orang-orang mukmin), untuk kekafiran dan untuk meÂmecah belah antara orang-orang mukmin serta menunggu kedatangan orang-orang yang teÂlah memerangi Allah dan Rasul-Nya sejak daÂhulu. Mereka sesungguhnya bersumpah: "Kami tidak menghendaki selain kebaikan." Dan Allah menjadi saksi bahwa sesungguhnya mereka itu adalah pendusta (dalam sumpahnya). (Q.S. al- Taubah/9:107). Ayat pertama di atas lebih teÂgas lagi melarang umat Islam shalat di masjid itu selama-lamanya (Q.S. al-Taubah/9:108).
Larangan orang untuk shalat di masjid khusus tentu bukan alasan untuk meligitimasi adanya sebuah kelompok minoritas yang tidak rela masjidnya digunakan shalat oleh orang-orang di luar kelompoknya. Bahkan dahulu pernah kita mendengar jika ada orang lain yang shaÂlat di masjidnya maka tempat shalatnya dicuci karena dianggap yang bersangkutan tidak suci. Ayat tersebut di atas juga tidak bisa digunakan untuk membakar dan menghancurkan masjid-masjid tertentu yang mazhab dan alirannya tidak sama dengan yang dianut oleh mainÂstream muslim di Indonesia, seperti yang perÂnah dialami oleh masjid komunitas Ahmadiyah dan masjid yang berafiliasi Syi’ah. Peristiwa pembakaran masjid dan pelarangan shalat di dalam masjid tertentu betul-betul hanya diperÂuntukkan kepada masjid yang sejak awal diniÂatkan untuk memprovokasi dan melemahkan umat Islam, sebagaimana konteks dan motiv pembangunan Masjid Dhirar.
Bagi kita di Indonesia ada peraturan dan perundang-undangan tersendiri yang harus diinÂdahkan manakala kita menyaksikan ada peÂnyimpangan pembangunan dan penggunaan rumah ibadah. Barangsiapa yang melanggar aturan itu maka akan dikenakan sanksi yang tegas. Umat dan segenap warga bangsa InÂdonesia tidak dibenarkan main hakim sendiri sebagaimana dilakukan di negara-negara lain yang belum memiliki administrasi negara yang rapi. Langkah yang harus dilakukan manakaÂla kita menemukan masjid atau rumah-rumah ibadah menyimpang dari ketentuan yang ada maka kita berkewajiban untuk menyampaikan atau melaporkan kepada pihak yang berwajib. Apapun alasannya, tidak dibenarkan melakuÂkan pembakaran simbol-simbol agama, agama apapun di negara kesatuan Republik IndoneÂsia. Jika ada masalah keagamaan yang munÂcul, baik antara umat beragama, internal umat beragama, dan antar umat beragama dan peÂmerintah, sebaiknya diselesaikan dengan cara musyawarah dan mufakat. Itulah cara yang paling elegan dan sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia.