Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Peristiwa Kontroversi yang Dilakukan Nabi dan Sahabat (2)

Larangan Shalat Di Masjid Dhirar

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/nasaruddin-umar-5'>NASARUDDIN UMAR</a>
OLEH: NASARUDDIN UMAR
  • Rabu, 31 Oktober 2018, 09:04 WIB
Larangan Shalat Di Masjid Dhirar
Nasaruddin Umar/Net
MASJID dibangun untuk mendirikan shalat, namun dalam kenyataannya, tidak semua masjid itu diizinkan shalat di dalamnya. Jika larangan shalat di rumah-rumah ibadah agama non Islam mungkin masih mu­dah difahami, akan tetapi jika larangan sahalat itu dilakukan di masjid tentu aneh, apa lagi jika yang melarang shalat di masjid itu ialah Allah Swt. Akan tetapi ini betul-betul pernah terjadi, sebuah masjid dilarang untuk ditempati shalat, bahkan diminta untuk menghancurkan masjid itu (Masjid Dhirar). Peristiwa ini betul-betul per­nah terjadi seiring dengan turunnya ayat berikut ini: Janganlah kamu shalat di dalam masjid itu selama-lamanya. Sesungguhnya masjid yang didirikan atas dasar takwa (masjid Quba), sejak hari pertama adalah lebih patut kamu bersem­bahyang di dalamnya. Di dalamnya ada orang-orang yang ingin membersihkan diri. Dan Allah menyukai orang-orang yang bersih. (Q.S. al- Taubah/9:108).

Sabab Nuzul ayat ini berawal dari adanya siasat orang-orang musyrik dan munafik yang iri melihat begitu cepat perkembangan umat Is­lam di madinah. Agama yang baru lahir tetapi begitu cepat meluas ke berbagai wilayah. Atas dasar itu sekelompok kaum musyrik dan mu­nafik membangun masjid tandingan dari masjid Nabi, yakni Masjid Quba. Alasan pembangu­nannya diperuntukkan kepada orang-orang lemah, orang tua yang tidak kuat berjalan jauh menuju masjid Nabi. Nabi pun pernah diundang untuk berkunjung ke masjid itu dan Nabi juga bermaksud untuk mengunjungi masjid baru itu. Akan tetapi menjelang Nabi ke masjid itu turun ayat: Dan (di antara orang-orang munafik itu) ada orang-orang yang mendirikan masjid un­tuk menimbulkan kemudaratan (pada orang-orang mukmin), untuk kekafiran dan untuk me­mecah belah antara orang-orang mukmin serta menunggu kedatangan orang-orang yang te­lah memerangi Allah dan Rasul-Nya sejak da­hulu. Mereka sesungguhnya bersumpah: "Kami tidak menghendaki selain kebaikan." Dan Allah menjadi saksi bahwa sesungguhnya mereka itu adalah pendusta (dalam sumpahnya). (Q.S. al- Taubah/9:107). Ayat pertama di atas lebih te­gas lagi melarang umat Islam shalat di masjid itu selama-lamanya (Q.S. al-Taubah/9:108).

Larangan orang untuk shalat di masjid khusus tentu bukan alasan untuk meligitimasi adanya sebuah kelompok minoritas yang tidak rela masjidnya digunakan shalat oleh orang-orang di luar kelompoknya. Bahkan dahulu pernah kita mendengar jika ada orang lain yang sha­lat di masjidnya maka tempat shalatnya dicuci karena dianggap yang bersangkutan tidak suci. Ayat tersebut di atas juga tidak bisa digunakan untuk membakar dan menghancurkan masjid-masjid tertentu yang mazhab dan alirannya tidak sama dengan yang dianut oleh main­stream muslim di Indonesia, seperti yang per­nah dialami oleh masjid komunitas Ahmadiyah dan masjid yang berafiliasi Syi’ah. Peristiwa pembakaran masjid dan pelarangan shalat di dalam masjid tertentu betul-betul hanya diper­untukkan kepada masjid yang sejak awal dini­atkan untuk memprovokasi dan melemahkan umat Islam, sebagaimana konteks dan motiv pembangunan Masjid Dhirar.

Bagi kita di Indonesia ada peraturan dan perundang-undangan tersendiri yang harus diin­dahkan manakala kita menyaksikan ada pe­nyimpangan pembangunan dan penggunaan rumah ibadah. Barangsiapa yang melanggar aturan itu maka akan dikenakan sanksi yang tegas. Umat dan segenap warga bangsa In­donesia tidak dibenarkan main hakim sendiri sebagaimana dilakukan di negara-negara lain yang belum memiliki administrasi negara yang rapi. Langkah yang harus dilakukan manaka­la kita menemukan masjid atau rumah-rumah ibadah menyimpang dari ketentuan yang ada maka kita berkewajiban untuk menyampaikan atau melaporkan kepada pihak yang berwajib. Apapun alasannya, tidak dibenarkan melaku­kan pembakaran simbol-simbol agama, agama apapun di negara kesatuan Republik Indone­sia. Jika ada masalah keagamaan yang mun­cul, baik antara umat beragama, internal umat beragama, dan antar umat beragama dan pe­merintah, sebaiknya diselesaikan dengan cara musyawarah dan mufakat. Itulah cara yang paling elegan dan sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia.

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA