Di depan anggota Lemkaji, sebelum menyampaikan pemaparan, Bambang mengungkapkan dirinya merasa grogi karena di samping kanan, kiri dan depan banyak pakar ahli tata negara. "Semua adalah guru," ujarnya sambil tersenyum.
Dikatakan, saat dirinya masih SMA, semua yang berada di ruang itu sudah menjadi anggota DPR/MPR.
Menurut Bambang, kalau bicara sistem tata negara, bila kita menggunakan sistem presidential, sistem itu dirasa kok tidak kuat. Pun demikian kalau menggunakan sistem parlement, sistem ini tidak heavy.
"Akibat yang demikian kita menggunakan sistem-sistem yang ada tergantung kepentingan yang sedang dialami," ungkapnya dalam keterangan Humas MPR.
Pria kelahiran Jakarta itu bersyukur pemerintahan saat ini merangkul sebagian besar partai politik di parlemen. Merangkul partai-partai yang ada disebut untuk mengurangi kegaduhan di parlemen maupun di dunia politik.
"Kita sering gaduh karena sistem kita saling kunci," paparnya.
Dijelaskan mengenai saling kunci, DPR tak bisa membuat UU tanpa pemerintah. "Proses pembuatan UU bisa terhenti karena pemerintah tak hadir dalam rapat," ungkapnya.
Pun demikian dalam soal anggaran yang tidak tuntas-tuntas bila pemerintah tidak hadir dalam pembahasan. "Akibatnya kita pernah didekte oleh pemerintah soal anggaran. Akhirnya kita memakai anggaran yang sudah dirancang oleh pemerintah," tambahnya.
Dirinya bertanya, apakah ini disebut pembagian atau pemisahan kekuasaan.
Masalah yang demikian disebut Bambang sebagai pekerjaan rumah bagi Lembaga Pengkajian untuk mencari solusinya. Dikatanya saat ini ada lembaga yang kekuasaannya bisa melebihi kekuasaan pemerintah dan DPR.
"Kadang 560 anggota DPR dikalahkan oleh MK yang jumlah anggotanya 9 orang," ungkapnya. Hal seperti itu menurutnya perlu diperbaiki agar sesuai dengan yang diharapkan.
Dikatakan, DPR mempunyai tiga fungsi yakni legislatif, anggaran, dan pengawasan. Hubungan DPR dan pemerintah dalam UU disebutkan seperti membahas dan menyetujui UU; menyetujui banyak hal seperti Perppu, perdamaian dan perjanjian internasional, pengangkatan duta besar, dan menerima duta besar dari negara lain. DPR disebut juga mempunyai peran lain terkait KY, MA, dan lembaga negara lainnya.
"Bersama dengan pemerintah, kita membuat kebijakan umum yang sifatnya mengikat, yakni membuat UU. Jadi kalau pemerintah menjalankan UU maka kita mendukungnya," tambahnya.
Menanggapi problem kekuasaan yang demikian, anggota Lemkaji, Valina Singka, mengatakan sistem presidential efektif bila didukung sistem kepartaian yang sederhana.
"Seperti di Amerika Serikat ada dua partai, Demokrat dan Republik," tuturnya. Diakui di sana ada partai-partai yang lain namun partai-partai kecil itu akhirnya menghimpun diri pada dua partai besar tadi.
Dirinya khawatir bila presiden bukan berasal dari partai mayoritas di parlement. Untuk itu diperlukan koalisi mendukung presiden. Alumni Universitas Indonesia itu mengakui sejak Pemilu Presiden 2004, 2009, dan 2014, terjadi koalisi partai namun sayangnya koalisi yang dibangun tak efektif. Ini bisa terjadi karena anggota koalisi bergerak bebas sesuai dengan kondisi politik yang terjadi.
"Ini terjadi karena koalisi yang dibangun bukan berdasarkan nilai tetapi karena kepentingan," paparnya.
Ada usulan untuk mengurangi jumlah partai politik, caranya dengan meningkatkan parlement threshold. Namun hal yang demikian lagi-lagi belum berhasil menyederhanakan jumlah partai politik.
"Solusi mengurangi partai, bisa memperkecil distric magnitude," ujarnya.
Bukhori Yusuf, anggota Lemkaji lainnya, mengatakan tak ada satu sistem pemerintahan di sebuah negara yang sempurna. "Üntuk itu tak relevan bila kita meniru seratus persen sistem negara lain. Tak ada sistem yang mutlak," tambahnya.
Dirinya menyadari saat belajar tentang demokrasi, saat kuliah, ternyata apa yang dipelajari itu berbeda saat menjadi anggota DPR. "Berbeda antara teks dan lapangan," akunya.
Bagi Bukhori dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, kunci sebenarnya adalah kesepakatan. Sehingga ia menyatakan tidak perlu bertele-tele dalam masalah kekuasaan. Menurutnya kualitas berbangsa dan bernegara tidak ditentukan oleh sistemnya namun oleh manusianya. Bila ada masalah antara MK dan DPR, menurut Bukhori itu karena kesalahan DPR sendiri sebab syarat untuk menjadi anggota MK adalah seorang yang masuk dalam kriteria negarawan.
"Nah DPR memilih orang yang sedang atau mempunyai masalah menjadi hakim MK. Bukan negarawan tetapi dipaksa menjadi hakim MK," tambahnya. Akibat yang demikian dikatakan MK membuat turbulensi sendiri. "Jadi bukan sistemnya tetapi orangnya," tegasnya.
[rus]
BERITA TERKAIT: