Food First Information and Action Network (FIAN International) mendesak hakim yang memeriksa dan mengadili perkaÂra itu, untuk menjauhkan diri dari penyelewengan hukum piÂdana dan proses pidana terhadap orang-orang di Pulau Pari.
FIAN International adalah organisasi hak asasi manusia internasional yang bekerja untuk implementasi hak atas pangan dan gizi di seluruh dunia.
Sekjen FIAN International, Sofia Monsalve dalam suratnya yang dikirim kepada Pengadilan Negeri Jakarta Utara, dan ditemÂbuskan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Republik Indonesia (Komnas HAM) dan Ombudsman Republik Indonesia (ORI) mengungkapkan, baru-baru ini, pihaknya mendapat informasi tentang dugaan pengalihan hak atas tanah dan kasus-kasus kriminalisasi terkait neÂlayan skala kecil di Pulau Pari, Kabupaten Kepulauan Seribu, DKI Jakarta.
Dijelaskan Sofia, Pulau Pari memiliki luas sekitar 43,3 hekÂtare dan saat ini dihuni oleh 1.280 orang (setara dengan 320 keluarga) yang penghidupanÂnya terutama bergantung pada perikanan nelayan tradisional skala kecil dan wisata laut lokal. "Diperkirakan, sekitar 90 persen Pulau saat ini dikuasai oleh seorang pengusaha. Juga atas nama keluarga dan karyawannya," tutur Sofia.
Lembaga yang berbasis utaÂma di Jerman dan Swedia ini menuturkan, berdasarkan inforÂmasi yang diperoleh FIAN dari Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI), penduduk lokal Pulau Pari telah tinggal di pulau itu selama tiga generasi. Jauh sebelum Indonesia memÂperoleh kemerdekaannya.
Pada sekitar 1960-an, masyarakat Pulau Pari mendaftarkan taÂnahnya dengan sistem "girik". Girik bukanlah hak kepemiliÂkan individual atas tanah atau sertifikat tanah. Tapi merupaÂkan bukti, pengguna tanah telah membayar pajak atas tanah yang diolah atau didiami. Dalam kaÂsus Pulau Pari ini, adalah tanah yang sedang dalam sengketa.
Melalui sistem girik, masyarakat dengan demikian memiliki bukti hak atas tanah pada tingkat desa/kelurahan yang dikeluarkan oleh kantor kelurahan setempat. Pada 1980, Badan Pertanahan Nasional menawarkan proses sertifikasi, untuk mengubah girik menjadi hak milik (Sertifikat Hak Milik-SHM).
Meski masyarakat Pulau Pari telah menyerahkan girik mereka ke Kelurahan Pulau Tidung, mereka tidak pernah menerima SHM sebagaiman yang dijanÂjikan. Antara tahun 1982-1985, diduga, kepemilikan tanah Pulau Pari kebanyakan telah secara diam-diam dialihkan kepada oknum pengusaha.
"Warga baru menyadari hal ini sejak 2013 terjadi tindak krimiÂnalisasi dan tuntutan hukum," ujar Sofia dalam suratnya.
Hingga tahun 1993, karena beranggapan bahwa mereka memiliki hak atas tanah melalui sistem girik, penduduk Pulau Pari tetap membayar pajak bumi dan bangunan kepada pemungut pajak dari kelurahan. ***
BERITA TERKAIT: