Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

WAWANCARA

Faisal Basri: Peranan Asing Makin Meningkat, Tapi Masih Pada Level Di Bawah Rata-rata Asia Tenggara

Kamis, 04 Oktober 2018, 08:40 WIB
Faisal Basri: Peranan Asing Makin Meningkat, Tapi Masih Pada Level Di Bawah Rata-rata Asia Tenggara
Faisal Basri/Net
rmol news logo Belakangan ini nilai tu­kar rupiah terhadap dolar AS cenderung terus melemah. Pada Selasa (2/10) sore, nilai tukar rupiah tembus ke angka Rp 15 ribu per dolar AS. Ekonom Faisal Basri pun memberikan pandangannya terkait masalah ini. Berikut penuturannya.

Menurut Anda apa yang menyebabkan pelemahan nilai tukar rupiah?
Penyebabnya karena investor asing banyak yang menjual aset­nya di Surat Utang Negara (SUN). Untuk pertama kalinya sejak 2010, portofolio ada di saham dan SUN. Sebelumnya SUN tidak pernah defisit (net sell), baru tahun ini lebih banyak dijual dari pada dibeli. Itulah kontribusi besar ke pelemahan rupiah.

Pemerintah sadar karena utangnya terlalu cepat bertam­bahnya. Karena sudah mulai sadar, tahun 2019 jadi dikuran­gi. Pendapatan tidak dikerek, sementara pajaknya naik. Ini bagus, jadi tidak semakin mem­buat kondisinya memburuk. Pemerintah sadar gasnya harus dikurangi, itu saja.

Ada saran buat pemerintah terkait hal ini?
Pertama, seperti yang tadi secara implisit saya katakan, devisa terbesar itu keuntungan perusahaan asing yang dibawa pulang. Tahun lalu itu besarnya sampai 20 miliar USD.

Jumlah tersebut lebih besar dari defisit minyak yang cuma 11 miliar USD. Jadi kalau saya ingin menyelesaikan masalah, caranya adalah dengan mengun­dang sumber masalah terbesar dulu. Undanglah itu misalnya Indosat, XL, Tree, Telkomsel. Telkomsel itu kan 30 persennya punya Sintel. Jadi banyak yang membawa keuntunganya ke luar. Jadi bagaimana caranya supaya disimpan dulu deh di Indonesia. Seperempatnya aja itu sudah besar manfaatnya, sehingga dapat mengurangi tekanan. Cara itu lebih baik jika dibandingkan dengan kebijakan pemerintah yang menaikan PPH Pasal 22.

Caranya itu ribet segala macam, sementara efeknya enggaksampai 1 miliar dolar, dan itu cicilanya dikasih. Ini kan sudah mulai lagi, deviden itu kan triwu­lanan dibayarnya. Ini sudah masuk triwulan keempat dibayar.

Apa saran berikutnya?
Kemudian yang kedua, saya melihat enggak ada sama sekali sense of crisis. Karena saya haqul yakin seyakin-yakinnya, ka­lau para elite politik ini banyak beternak dolar.

Jadi tolong dolar-dolar mereka dijual. Saya enggak ada urusan dengan kubu mana atau kubu mana. Anda tagih itu semua calon legislatif, calon presiden, dan calon wakil presiden. Pak Sandiaga Uno mengaku punya 1,2 juta dolar, dan dia bilang mau dijual seperempatnya. Kenapa enggak semuanya saja? Nah gitu-gitu. Biar keliatan ketersediaan dari semuanya. Menteri-menteri, seperti Ibu Retno itu enggak pantas punya uang 400 ribu USD. Terus seperti studi banding itu tolong dihentikan dulu. Enggak ada yang peduli tentang itu.

Maksudnya sengaja disim­pen ya dolar itu?
Saya kurang paham juga. Itu kan yang dilaporkan, anda bisa cek sendiri bagaimananya. Yang pasti saya cuma ingat Ibu Retno dan Pak Moeldoko. Pak moeldoko waktu itu sudah jual 100 ribu dolar, dan menteri agama alhamdulillah sudah jual cukup banyak. Sebelumnya dia punya 115 ribu dolar, sementara sekarang tinggal 15 ribu dolar. Jadi teman-teman tolong bantu me­nyentuh hati nurani mereka, buat mereka berkorban sedikit aja. Kan harta mereka banyak, jadi dorong mereka untuk ubah dolar-nya menjadi rupiah. Jadi lebih banyak kan bisa dilakukan.

Banyak yang bilang Indonesia itu dikuasai asing. Bagaimana pandangan Anda soal anggapan tersebut?
Itu mah bukan temuan serius, dan dengan sangat mudah disang­gah. Kalau Indoneaia dikuasai asing itu, setiap tahun investasinya enggak akan lebih dari 5 persenan, dari total 100 persen yang kita tanamkan. Kalau dari zaman baheula asingnya itu dihitung, perbandingan terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) itu kira-kira hanya seperempatnya.

Padahal Vietnam itu sampai separuhnya, Indonesia adalah yang terkecil. Jadi besar kecilnya harus dibandingkan dengan neg­ara yang setara lah. Bahkan jika dibandingkan dengan Vietnam yang komunis, dan Bolivia yang sosialis kita masih begitu rendah. Artinya di Indonesia itu persen­tasinya masih kecil. Kemudian jangan lupa juga, di mana-mana minyak itu industri. Exxon, BP, dan Chevron itu kontraktor, dan posisi mereka sangat lemah.

Sedemikian lemahnya dia, sampai-sampai kalau dia beli alat, alatnya itu bukan punya dia. Dia yang beli alat, tapi alat yang dia beli punya negara. Jadi itu aset negara. Jadi dia cuma kontraktor, dikasih fee sama pe­merintah, dan ada bagi hasil.

Pemerintah dapet 85 persen, sementara dia dapat 15 persen. Tapi ongkosnya semua ditang­gung oleh negara. Oleh karena itu, seluruh aset perusahaan as­ing itu milik negara.

Kalau dihitung lagi sebetulnya persentase mereka malah lebih kecil lagi. Karena kan sekarang, ladang minyak asing itu banyak yang sudah habis, dan tidak diperpanjang lagi. Semuanya nanti dikasih ke Pertamina, sehingga punya mereka makin sedikit lagi. Terakhir Freeport kan juga, makanya semakin sedikit lagi.

Tapi investasi asing di Indonesia kan juga semakin meningkat?
Betul, peranan asing semakin meningkat. Tapi masih pada level yang berada di bawah rata-rata asia tenggara atau asia sela­tan. Berdasarkan data yang saya punya, sejak 2011 sampai 2016, perkembangan Foreign Direct Investment (FDI atau investasi langsung asing) di Indonesia itu 24, 1 persen. Angka itu masih di bawah Malaysia yang 40,6 persen, sementara Vietnam 50,5 persen, dan Thailand 44,7 persen. ***

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA