Politisi Partai Bulan Bintang (PBB) itu berulang kali tak meÂmenuhi panggilan pemeriksaan kasus penerimaan suap dari mantan Gubernur Sumut Gatot Pujo Nugroho.
Keberadaan Ferry tak diketaÂhui sejak ditetapkan sebagai terÂsangka kasus ini. "KPK meminta bantuan Polri untuk melakukan pencarian dan penangkapan DPOtersebut," kata juru bicara KPK Febri Diansyah.
KPK juga mengajukan perÂmohonan bantuan pencarian terhadap anggota DPRD Sumut periode 2009-2014 itu, ke Interpol. Menurut Febri, surat permohonan sudah dikirim pada 28 September 2018.
Febri mengimbau kepada masyarakat yang mengetahui keberadaan tersangka itu agar menginformasikan kepada kanÂtor kepolisian terdekat atau ke kantor KPK melalui telepon 021-25578300.
Ferry dianggap buron karena telah dua kali mangkir dari pemerÂiksaan KPK tanpa alasan. Ia dijadÂwalkan menjalani pemeriksaan pada 14 dan 21 Agustus 2018.
Febri mengingatkan pihak yang membantu menyembunyiÂkan atau membantu pelarian terÂsangka bisa dianggap menghaÂlangi penyidikan. "Sebagaimana Pasal 21 Undang Undang Tipikor bisa kena pidana 3 hingga 12 taÂhun penjara," sebutnya.
Sebelumnya, KPK menangkap anggota DPRD Sumut periode 2019-2014 Muhammad Faisal karena telah dua kali mangkir pemeriksaan. Ketua Fraksi Partai Golkar itu dicokok di rumahnya.
Penangkapan terhadap Faisal dilakukan sehari setelah Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menolak gugatan praperadilan yang diajukan Faisal, Washington Pane, Arifin Nainggolan dan Syafrida Fitrie.
Faisal cs juga pernah menÂgajukan gugatan praperadilan terhadap KPK ke Pengadilan Negeri Medan. Namun ditoÂlak. Pengadilan Negeri Medan menyatakan tak berwenang mengadili. Alasannya, kantor KPK berada di wilayah hukum Pengadilan Negeri Jakarta.
Penangkapan juga dilakukan terhadap Musdalifah, tersangka kasus sama. Anggota DPRD Sumut periode 2009-2014 itu disatroni usai resepsi pernikahan putrinya di Tiara Convention Center, Kota Medan.
Ferry, Faisal dan Musdalifah termasuk dalam 38 anggota dan mantan anggota DPRD Sumut yang ditetapkan sebagai terÂsangka kasus penerimaan suap berjamaah dari Gatot Pujo.
Sejauh ini, KPK telah menahan 22 tersangka. Sedangkan 16 lainÂnya masih bebas. Febri menginÂgatkan kepada 16 tersangka agar kooperatif. "Penangkapan ini agar menjadi pelajaran agar (terÂsangka lainnya) memenuhi pangÂgilan penyidikan dan mengikuti proses hukum," katanya.
Ke-16 tersangka itu adalah Abu Bakar Tambak, Enda Mora Lubis, M Yusuf Siregar, Sopar Siburian, Analisman Zalukhu, Tonnies Sianturi, Tohonan Silalahi, Murni Elieser Verawaty Munthe, Dermawan Sembiring, Arlene Manurung, Syahrial Harahap, Washington Pane, Tunggul Siagian, Fahrul Rozi, Taufan Agung Ginting, dan Ferry Suando Tanuray Kaban.
Ke-38 anggota DPRD Sumut periode 2009-2014 dan 2014- 2019 menerima suap dalam bentuk uang 'ketok palu'. Jumlahnya berkisar Rp 300 juta hingga Rp 350 juta.
Pemberian suap itu agar anggota Dewan memberikan persetujuan Perubahan APBD 2012-2014, pengesahan APBD 2014-2015, persetujuan laporan pertanggungÂjawaban (LPJ) penggunaan APBD 2013-2014, hingga penolakan penggunaan hak interpelasi atas poligami Gatot pada 2015.
Kilas Balik
Permintaan Uang Ketok Palu Pengesahan APBD Naik Terus
Mantan Gubernur Sumatera Utara Gatot Pujo Nugroho mengungkap adanya tradisi pemÂberian uang 'ketok palu' kepada DPRD untuk persetujuan RAPBD.
Hal itu disampaikan Gatot ketika bersaksi di persidangan terdakwa Kamaluddin Harapan, Wakil Ketua DPRD Sumut peÂriode 2009-2014 di Pengadilan Tipikor Jakarta. "Iya ada uang ketok Rp 10 juta per anggota deÂwan untuk memuluskan APBD 2012," sebut Gatot.
Gatot menuturkan, tradisi pemberian uang ketok palu untuk anggota dewan sudah ada keÂtika dirinya menjabat Pelaksana Tugas (Plt) Gubernur Sumut pada 2011.
"Kalau nggak ada uang keÂtok, tidak selesai (pembahasan) antara Badan Anggaran (DPRD) dan Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD). APBD tidak akan dibahas-bahas," bebernya.
Nurdin Lubis, mantan Sekretaris Daerah Provinsi Sumut juga membenarkan adanya tradiÂsi uang ketok palu saat bersaksi di persidangan sama.
Pada pertengahan 2012, Pemprov Sumut membahas APBD dengan DPRD. "Muncul keÂinginan dari kawan-kawan (di DPRD) semacam uang ketok dan itu adalah sebuah tradisi," sebut Nurdin.
Nurdin menuturkan Kamaluddin pernah dimintai uang ketok palu Rp1,5 miliar. Permintaan itu disampaikan saat ia berkumpul dengan kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) Pemprov Sumut di ruang Sekretaris DPRD usai pembahasan APBD.
Nurdin tak langsung mengabÂulkan permintaan Kamaluddin. "Saya bilang, ya nanti lapor ke Pak Gubernur (Gatot) dulu," katanya.
Menurut Nurdin, Gatot keÂmudian menyetujui permintaan uang ketok palu karena diangÂgap sudah tradisi tahunan. Hal yang sama terulang sebelum pengesahan APBD Perubahan 2013. Namun nilai uang ketok yang diminta naik terus. "Naik Rp 1 miliar. Jadi Rp 2,5 miliar," ungkapnya.
Sebelum pengesahan APBD tahun 2014, permintaan uang ketok itu naik lagi Rp 1,3 miliar menjadi Rp 3,8 miliar. Gatot keÂberatan dan meminta uang ketok palu diturunkan.
Setelah negosiasi, diputuskan uang ketok palu sebesar 5 persen dari anggaran yang disahkan Rp1 triliun. Nominalnya Rp 50 miliar untuk para anggota DPRD.
"Kemudian untuk pengesahan APBD 2015 saya dapat info dari Pak Gubernur awalnya DPRD minta Rp 250 juta (per orang). Tapi diminta Pak Gubernur Rp 150 juta. Kemudian disepakati Rp 200 juta," tutur Nurdin.
Dalam perkara ini Kamaluddin didakwa menerima suap dari Gatot dengan jumlah total Rp1,4 miliar. Uang itu diterima beÂberapa kali: untuk persetujuan Laporan Pertanggungjawaban (LPJ) APBD 2012, persetuÂjuan Perubahan APBD 2013, persetujuan APBD 2014 dan persetujuan APBD 2015.
Gatot memerintahkan Kepala Biro Keuangan Pemprov Sumut Ahmad Fuad Lubis mencairkan uang ketok palu untuk angÂgota DPRD. Uang lalu diserahÂkan kepada Sekretaris DPRD Randiman Tarigan. Bendahara Sekretariat DPRD M Alinafiah yang membagi-bagikan kepada anggota dewan. ***
BERITA TERKAIT: