Menurut dia, tingginya biaya yang dikeluarkan dalam pilkada langsung telah mendorong para kepala daerah melakukan koruÂpsi. Bamsoet sapaan Bambang Soesatyo pun mengaku sudah membahas wacana tersebut bersama Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo peÂkan lalu. Lantas bagaimana tangÂgapan KPU terkait usulan terseÂbut? Berikut penuturan lengkap Ketua KPU Arief Budiman.
Bagaimana tanggapan KPU soal wacana kepala daerah dipilih DPRD?
Kalau dilihat trennya, proses penyelenggaraan dari 2015 hingÂga sekarang, saya melihat proses penyelenggaraannya semakin kuat. Secara kelembagaan, para penyelenggara pemilu, yaitu KPU, Bawaslu (Badan Pengawas Pemilu), dan juga DKPP (Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu) yang sekarang diÂmasukkan sebagai penyelengÂgara sudah diperkuat. Kami berupaya membuat pelaksanaan pilkada kredibel dan akuntaÂbel. Sekarang setiap tahapan pemilu transparan, semua orang bisa mengakses proses perencanaan anggaran dari tahap awal sampai akhir. Begitu juga, pada tahap pemutakhiran data pemilih. Dulu orang menuduh kecurangan melalui data pemiÂlih. Seluruh data sekarang bisa diakses melalui sistem data pemilih. Penghitungan suara juga sudah transparan. Jadi kaÂlau melihat tren ini, semua itu cenderung memperkuat proses penyelenggaran melalui pemiliÂhan langsung. Jadi jangan malah dikembalikan ke DPRD. Itu yang menjadi catatan kami.
Katanya, pemilihan langÂsung membuat biaya politik yang harus dikeluarkan para calon kepala daerah semakin tinggi, yang akhirnya mendorÂong praktik korupsi? Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 telah membuat pemilu ini semakin murah bagi peserta pemilu. Sekarang seÂbagian biaya kampanye sudah dibiayai negara. Sementara untuk menekan biaya yang harus dikeluarkan calon dan partai, KPU sudah membatasi dana kampanye. Artinya penyelengÂgara sudah berusaha bikin agar biaya pemilu murah. Jadi tak ada alasan pilkada dikembalikan ke DPRD. Nyatanya proses Pemilu oleh KPU semakin baik dan rakyat lebih percaya.
Artinya KPU tetap memilih pemilihan langsung? KPU hanya menujukan keÂcenderungan berdasarkan fakta yang ada. Kalau kami setuju yang kiri, nanti dikira lawan yang kanan. Kalau setuju yang kanan, dikira lawan yang kiri. Makanya kami menyampaikan saja data, fakta, dan pengalaÂman kami. Nanti biar pembuat undang-undang yang menentuÂkan. Tapi saya ingin katakan yang tadi itu, sesungguhnya proses penyelenggaran ini tiap tahun semakin baik. Dari satu pilkada ke yang berikutnya semakin baik pelaksanaannya. Itu artinya kan proses ini bisa disepakati oleh semua pihak. Baik pemerintah maupun DPR semakin memÂperkuat penyelenggaraannya. Bukan hanya penyelenggaranÂnya saja, tapi juga bagi peserta pemilunya.
Berarti menurut KPU, kaÂlau pemilihan kepala daerah dikembalikan lagi ke DPRD justru kemunduran? Iya. Saya pikir harusnya tidak mengarah ke pemilihan melalui DPRD. Tapi justru proses penyeÂlenggarannya diperkuat.
Ada yang beranggapan unÂtuk daerah tertentu, seperti Papua, pemilihan melalui DPRD lebih baik? Kami setuju saja. Karena situasi khusus kan bisa saja begitu. Toh itu sudah terjadi di daerah istimewa khusus seperti di Yogyakarta. Pokoknya semuanya mungkin, tergantung nanti bagaimana mau pembuat undang-undangnya.
Terkait pembahasan Peraturan KPU yang akan memuat pelarangan bagi caleg eks napi kasus korupsi, progresnya sampai mana? Kami masih tunggu jadwal konsultasi. Sebetulnya kemarin kami sudah konsultasi empat kali. Itu kan ada empat PKPU, yaitu soal kampanye, dana kamÂpanye, pencalonan anggota legislatif, dan presiden.
Kami ini masih menyeleÂsaikan dan sedang membahas PKPU tentang kampanye dan dana kampanye. Tapi waktunya habis, dan dilanjutkan ke rapat konsultasi berikutnya.
Nah, mudah-mudahan minggu depan rapat konsultasi bisa langsung membahas soal penÂcalonan anggota legislatif dan calon presiden. Yang pasti di dalam draf pasal soal itu masih ada.
Konsultasinya dengan peÂmerintah atau DPR? Kedua-duanya. Sesuai perintah undang, konsultasi akan dilakukan bersama antara peÂmerintah dengan DPR.
Banyak yang protes, karena dianggap bertentangan denganputusan MK? Terkait putusan Mahkamah Konstitusi (MK), memang unÂtuk narapidana setelah bebas dia cukup men
-declare saja, mengumumkan kepada publik bahwa dia mantan narapidana. Tetapi harus diingat, itu jenis pidana yang lain.
Dalam Undang-Undang Pilkada itu disebutkan, ada dua jenis pidana yang dia tidak boleh lagi, yaitu bandar narkoba dan kejahatan seksual terhadap anak.
Nah, KPU menilai korupsi itu kejahatan luar biasa, sama seperti bandar narkoba dan pelaku kejahatan seksual terhadap anak. Maka kami masukan itu. Kalau seorang tersangkut pidana yang lain boleh, dia cukup
declare saja.
Misalnya curi ayam, curi sanÂdal, berkelahi, dan pidana lainnya itu cukup declare. Tetapi khusus tiga jenis ini, itu tidak boleh lagi. Kan di Undang-Undang Pilkada sudah diatur, kecuali bandar narkoba dan kejahatan seksual terhadap anak.
Kalau seandainya nanti keÂtentuan itu ditolak, bagaimana sikap KPU? Ini kan bukan masalah disetujui atau tidak disetujui. Nanti kami lihat bagaimana pembaÂhasannya. ***
BERITA TERKAIT: