Sebenarnya apa sih dua pasal mengenai larangan bagi bekas narapidana korupsi untuk menÂjadi caleg?
Jadi dua pasal yang dimaksud itu substansinya sama, hanya mekanismenya saja yang berÂbeda. Jadi bukan opsinya yang berbeda. Jadi substansinya sama bahwa mantan napi koruptor kami menormakan tidak diperÂkenankan untuk nyaleg. Nah opsi satu dan opsi dua itu mengÂgambarkan mekanisme impleÂmentasi saja. Misalnya apakah norma itu akan dibunyikan sebagaimana mestinya dalam peraturan KPU? Atau secara teknis nanti akan kita berlakukan kepada partai politik. Tetapi substansinya sama saja.
Maksud dari diberlakuÂkan kepada partai politik bagaimana itu?Diberlakukan kepada partai politik itu kan masuk ke dalam norma,masuk ke dalam PKPU. Bukan berarti kalau tidak ada dalam peraturan terus kemudian diletakan dalam norma yang lain, itu tidak. Jadi tetap dalam rancangan PKPU, namun cuma bunyi-bunyiannya itu apakah langsung bahwa dalam persyaraÂtan itu. Karena dalam (draft) PKPU itu pada pasal 8 itu jelas bunyinya.
Saat ini opsi itu kan dituangkan dalam dua pasal terpisah. Di pasal 8 larangan itu jelas dituangkan langsung bahwa bekasa narapidana diharamÂkan nyaleg. Sementara di pasal 7 mekanisme penyeleksian untuk pelarangan bagi narapidana diserahkan kepada papol. Ke depannya apakah kedua pasal ini akan disatukan? Biar tidak membingungkan, bukan opsi ya, namun redakÂsional ya. Redaksional Ayang pertama, redaksional B yang kedua. Misalnya parpol dalam mekanisme calon harus memasÂtikan bukan mantan narapidana korupsi, hanya bunyi-bunyian. Jadi opsi ini tidak menggamÂbarkan gradasi, tetapi hanya redaksional.
Tapi konkret dari dua redaksional ini apakah sudah dicantumkan dalam draft PKPU belum?Kita mengusulkannya redakÂsional yang awal. Tetapi daÂlam dialog berkembang kita akan mewacanakan redaksinya diubah kepada partai politik. Tetapi itu tetap tercantum dalam peraturan KPU, begitu.
Tetapi kalau nanti itu yang dikenakan kepada parpol tidak menjadikan penurunan?Itulah. Saya mohon maaf klarifikasi dari opsi satu dan opsi dua itu tidak menggambarkan derajat yang berbeda. Tetapi menggambarkan redaksionÂal yang berbeda. Tetapi subÂstansinya sama. Redaksionalnya kita ubah sedemikian rupa, jadi parpol punya kewajiban bahwa calonnya itu bukan narapidana kasus korupsi.
Kenapa sih KPU mesti menÂuangkannya dalam dua opsi berbeda. Bukankah sebaiknya tegas saja langsung menuangÂkan larangan itu dalam satu pasal?Ya dua opsi itu kan tidak hanya memilih salah satu kan. Namun bisa kedua-duanya masuk untuk menguatkan, kan substansinya sama. Jadi bukan opsi Alebih keras dari opsi B, itu enggak. Namun hanya redaksional saja.
Kalau boleh tahu apa sih dasar hukum yang digunakan KPU untuk memunculkan larangan ini, mengingat beÂberapa waktu lalu Mahkamah Konstitusi justru membolehÂkan bekas narapidana untuk berpolitik. Bagaimana itu? Ya kita menjawab dari berÂbagai perspektif. Pertama, KPU dalam bekerja itu kan tidak hanya menggunakan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 sebagai satu-satunya pedoman, tapi KPU juga berpegang teguh pada undang-undang lain yang relevan. Misalnya undang-unÂdang pemerintah yang bersih dari korupsi, juga undang-unÂdang lain.
Tetapi kan sebagai lembaga, KPU ini hanya menjalankan undang-undang saja...Ini sebagai ilustrasi ya. Dalam setiap peraturan KPU, itu kan ada asas. Nah dalam peraturan KPU itu ada asas
accessibility, di undang-undang itu tidak ada. Kenapa kita memohon, karena kita menjamin pelayanan pemilu itu inklusif. Kita mendorong untuk pemilu yang akan daÂtang. Jadi itu menjadi salah satu bukti tidak terbantahkan bahwa kita juga menerapkan
accessibilÂity dalam kepentingan umum. Padahal di Undang-Undang 7 Tahun 2017 tidak ada dua asas itu. Kenapa kita mencantumÂkan? Karena berkaitan dengan
accessibility kita mendorong pemilu yang inklusif sekaligus kita mendorong untuk melayani pemilih, terutama pemilih yang berkebutuhan khusus. Yang kedua kepentingan umum. Kita menempatkan pemilu sebagai kepentingan umum. ***
BERITA TERKAIT: