Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

WAWANCARA

Wahyu Setiawan: Substansi 2 Opsi Itu Sama, Kami Menormakan Mantan Napi Koruptor Tak Dibolehkan Nyaleg

Rabu, 18 April 2018, 11:00 WIB
Wahyu Setiawan: Substansi 2 Opsi Itu Sama, Kami Menormakan Mantan Napi Koruptor Tak Dibolehkan Nyaleg
Wahyu Setiawan/Net
rmol news logo KPU menyiapkan dua opsi un­tuk menuangkan aturan larangan bagi bekas narapidana menjadi caleg di Pemilu 2019. Opsi per­tama adalah larangan bagi bekas narapidana kasus korupsi itu langsung dituangkan dalam ran­cangan Peraturan KPU (PKPU). Sedangkan opsi kedua larangan bagi bekas narapidana diberikan kepada partai politik peserta pemilu. KPU akan menuangkan opsi itu dalam draft PKPU ten­tang pendaftaran caleg. Berikut ini penjelasan Komisioner KPU Wahyu Setiawan terkait opsi aturan pelarangan nyaleg bagi bekas narapidana.

Sebenarnya apa sih dua pasal mengenai larangan bagi bekas narapidana korupsi untuk men­jadi caleg?

Jadi dua pasal yang dimaksud itu substansinya sama, hanya mekanismenya saja yang ber­beda. Jadi bukan opsinya yang berbeda. Jadi substansinya sama bahwa mantan napi koruptor kami menormakan tidak diper­kenankan untuk nyaleg. Nah opsi satu dan opsi dua itu meng­gambarkan mekanisme imple­mentasi saja. Misalnya apakah norma itu akan dibunyikan sebagaimana mestinya dalam peraturan KPU? Atau secara teknis nanti akan kita berlakukan kepada partai politik. Tetapi substansinya sama saja.

Maksud dari diberlaku­kan kepada partai politik bagaimana itu?
Diberlakukan kepada partai politik itu kan masuk ke dalam norma,masuk ke dalam PKPU. Bukan berarti kalau tidak ada dalam peraturan terus kemudian diletakan dalam norma yang lain, itu tidak. Jadi tetap dalam rancangan PKPU, namun cuma bunyi-bunyiannya itu apakah langsung bahwa dalam persyara­tan itu. Karena dalam (draft) PKPU itu pada pasal 8 itu jelas bunyinya.

Saat ini opsi itu kan dituangkan dalam dua pasal terpisah. Di pasal 8 larangan itu jelas dituangkan langsung bahwa bekasa narapidana diharam­kan nyaleg. Sementara di pasal 7 mekanisme penyeleksian untuk pelarangan bagi narapidana diserahkan kepada papol. Ke depannya apakah kedua pasal ini akan disatukan?
Biar tidak membingungkan, bukan opsi ya, namun redak­sional ya. Redaksional Ayang pertama, redaksional B yang kedua. Misalnya parpol dalam mekanisme calon harus memas­tikan bukan mantan narapidana korupsi, hanya bunyi-bunyian. Jadi opsi ini tidak menggam­barkan gradasi, tetapi hanya redaksional.

Tapi konkret dari dua redaksional ini apakah sudah dicantumkan dalam draft PKPU belum?

Kita mengusulkannya redak­sional yang awal. Tetapi da­lam dialog berkembang kita akan mewacanakan redaksinya diubah kepada partai politik. Tetapi itu tetap tercantum dalam peraturan KPU, begitu.

Tetapi kalau nanti itu yang dikenakan kepada parpol tidak menjadikan penurunan?
Itulah. Saya mohon maaf klarifikasi dari opsi satu dan opsi dua itu tidak menggambarkan derajat yang berbeda. Tetapi menggambarkan redaksion­al yang berbeda. Tetapi sub­stansinya sama. Redaksionalnya kita ubah sedemikian rupa, jadi parpol punya kewajiban bahwa calonnya itu bukan narapidana kasus korupsi.

Kenapa sih KPU mesti men­uangkannya dalam dua opsi berbeda. Bukankah sebaiknya tegas saja langsung menuang­kan larangan itu dalam satu pasal?

Ya dua opsi itu kan tidak hanya memilih salah satu kan. Namun bisa kedua-duanya masuk untuk menguatkan, kan substansinya sama. Jadi bukan opsi Alebih keras dari opsi B, itu enggak. Namun hanya redaksional saja.

Kalau boleh tahu apa sih dasar hukum yang digunakan KPU untuk memunculkan larangan ini, mengingat be­berapa waktu lalu Mahkamah Konstitusi justru memboleh­kan bekas narapidana untuk berpolitik. Bagaimana itu?
Ya kita menjawab dari ber­bagai perspektif. Pertama, KPU dalam bekerja itu kan tidak hanya menggunakan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 sebagai satu-satunya pedoman, tapi KPU juga berpegang teguh pada undang-undang lain yang relevan. Misalnya undang-un­dang pemerintah yang bersih dari korupsi, juga undang-un­dang lain.

Tetapi kan sebagai lembaga, KPU ini hanya menjalankan undang-undang saja...
Ini sebagai ilustrasi ya. Dalam setiap peraturan KPU, itu kan ada asas. Nah dalam peraturan KPU itu ada asas accessibility, di undang-undang itu tidak ada. Kenapa kita memohon, karena kita menjamin pelayanan pemilu itu inklusif. Kita mendorong untuk pemilu yang akan da­tang. Jadi itu menjadi salah satu bukti tidak terbantahkan bahwa kita juga menerapkan accessibil­ity dalam kepentingan umum. Padahal di Undang-Undang 7 Tahun 2017 tidak ada dua asas itu. Kenapa kita mencantum­kan? Karena berkaitan dengan accessibility kita mendorong pemilu yang inklusif sekaligus kita mendorong untuk melayani pemilih, terutama pemilih yang berkebutuhan khusus. Yang kedua kepentingan umum. Kita menempatkan pemilu sebagai kepentingan umum. ***

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA