WAWANCARA

Yasonna Laoly: Jangan Orang Top Saja Direhabilitasi, Pengguna Narkoba Biasa Juga Dong

Selasa, 30 Januari 2018, 09:16 WIB
Yasonna  Laoly: Jangan Orang Top Saja Direhabilitasi, Pengguna Narkoba Biasa Juga Dong
Yasonna Laoly/Net
rmol news logo Masalah over kapasitas di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) masih menjadi masalah klasik yang hingga kini be­lum juga sanggup ditangani Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham). Belakangan melahirkan masalah baru. Salah satunya lahirnya pasar narkotika. Bahkan, kepala lapas dipecat lantaran terbukti terlibat dalam peredaran narkoba.

Ditemui di dua tempat terpi­sah, Menteri Yasonna memberi­kan penjelasan terkait persoalan lapas dan pembahasan terhadap revisi Undang-Undang Tindak Pidana Terorisme. Berikut pe­nuturan Menteri Yasonna;

Persoalan over kapasitas lapas yang dihadapi lembaga Anda apakah sudah tertan­gani dengan baik?
Terkait overcapacity lapas, memang masih banyak peker­jaan yang harus diselesaikan. Perlu ada jalan keluar selain dengan pembangunan lapas se­cara fisik. Saya harus sampaikan bahwa memang banyak PR yang harus kita lakukan. Soal over kapasitas ini bukan hanya dalam periode ini kita persoalkan.

Apakah sudah ada rencana bangun lapas baru untuk men­gatasi masalah itu?
Rencana pembangunan lapas ini sebuah rencana besar. Biayanya mahal. Tapi harus terus kami lakukan. Dulu ada sekitar 220 ribu, sekarang ada 230 ribu. Ini hanya menghitung beberapa raker saja penambahannya dah­syatnya begitu.

Kami juga berharap RUU Narkoba ini bisa kita selesai­kan dengan baik dan cepat. Ini penting untuk kami rumuskan kembali, karena jumlah pelaku kejahatan narkotika itu meng­huni 50-70 persen dari kapasitas lapas yang ada.

Kepala Lapas Purworejo baru-baru ini terjerat kasus narkotika?

Kalau Purworejo sudah di­tangani BNN (Badan Narkotika Nasional), dan secara admin­instratif Irjen sudah menyam­paikan usul pemberhentian. Pokoknya kami tidak ada tol­eransi. Seperti yang sudah saya sampaikan saat rapat dengan Komisi III, sejak tahun 2015 hingga kini sudah 200 (kalapas) yang diberhentikan. Belum lagi yang diturunkan pangkatnya, diturunkan penunjang gaji dan pembebasan jabatannya. Dari tiga tahun belakangan ini (kala­pas) yang paling banyak (dipe­cat) itu di tahun 2015, yaitu ada 106 orang.

Jumlahnya turun menjadi 66 pada tahun 2016. Tahun kemarin jumlahnya turun lagi.

Itu semua terkait masalah narkoba di Lapas?

Ya memang paling banyak di lapas itu ya narkoba. Jadi kalau orang narkoba tidak dire­habilitasi ketergantungannya pasti sangat tinggi. Makanya saya katakan, paradigma kami bagi pengguna narkoba itu harus rehabilitasi. Rokok saja sudah candu, maka pendekatan kami di dalam menangani narapidana narkoba itu harus rehabilitasi. Kalau dimasuki terus saya selalu mengatakan janganlah.

Orang-orang top saja yang direhablitasi, Rafi Ahmad, Ridho Rhoma, tapi yang tidak punya uang, tangkap masuk ke dalam. Ini enggak fair, makanya saya katakan paradigma kita meng­hadapi pengguna narkoba harus rehabilitasi. Kami juga harus ikut membantu, karena ini me­nyangkut masa depan generasi muda kita.

Soal lain. Baru-baru ini Panglima TNI mengusulkan agar prajuritnya juga dilibatkan dalam operasi pemberantasan terorisme. Panglima TNI mengusulkan agar peliba­tan TNI itu dimasukan dalam draft revisi Undang-Undang Antiterorisme?
Memang usulan itu sudah dilaporkan ke saya. Saya bilang kami tidak bisa, karena ini revisi Undang-Undang Tindak Pidana Terorisme sudah berjalan.

Jadi tidak mungkin kami revisi judul, karena kalau be­gitu harus membuat yang baru. Kalau merevisi judul harus buat naskah akademik baru. Nanti akhirnya tidak jadi-jadi undang-undangnya.

Berarti Anda tidak setuju dong dengan usulan Penglima TNI itu?

Saya harus bilang sama teman-teman, sudahlah kami duduk manis saja. Kembalikan masalah itu ke Undang-Undang TNI saja. Saya sudah kasih ara­han begitu. Karena TNI ini kan sifatnya penggunaan force yang besar. Jadi secara politik harus mendapat persetujuan presiden. Kalau presiden mau perang, harus dapat persetujuan parle­men. Jadi politiknya tuh harus begitu. Harus sesuai Undang-Undang TNI.

Tapi Panglima TNI kan maunya dilibatkan?

Itu kan bersifat permohonan dari TNI, supaya bisa masuk dalam pembahasan RUU, seh­ingga kemampuan TNI dapat diwadahi dalam penanggulan­gan terorisme.

Kami pikir juga memang te­man-teman di TNI perlu terlibat, perlu ikut. Tetapi bentuknya kalau ada suatu hal yang betul-betul memerlukan bantuan TNI, dan itu harus melalui keputusan presiden sesuai dengan Undang-Undang TNI.

Memang revisi ini kan sudah dibahas dulu di antara kemente­rian dan lembaga, baru diajukan ke DPR. Nah ini ada perbedaan sedikit.

Seharusnya pemerintah tidak boleh lagi berbeda pendapat karena sudah dimasukkan sebe­lumnya. Ini kan usul pemerintah, bukan parlemen. Seharusnya antar pemerintah sudah harus solid.

Kapan targetnya pemba­hasan RUU ini bisa selesai?
Salah satu tanggung jawab kami di Prolegnas 2017 adalah RUU Terorisme. Jadi akan segera kami selesaikan pembahasannya. Soal ada pending matters bahkan di internal itu yang kami harus diselesaikan. ***

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA