WAWANCARA

Abdul Ghoffar Husnan: Saya Mengetuk Hati Nurani Prof Arief, Dia Kan Negarawan, Jadi Mundurlah

Senin, 29 Januari 2018, 11:12 WIB
Abdul Ghoffar Husnan: Saya Mengetuk Hati Nurani Prof Arief, Dia Kan Negarawan, Jadi Mundurlah
Abdul Ghoffar Husnan/Net
rmol news logo Namanya ramai diberitakan setelah tulisan opininya di sebuah surat kabar menjadi perbicangan. Lewat tu­lisannya yang berjudul; Ketua Tanpa Marwah, Ghoffar mengkritik Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Arief Hi­dayat yang sudah melakukan pelanggaran untuk kedua kalinya. Dia mengatakan, demi menjaga marwah MK, sebagai negarawan seharusnya Arief Hidayat mundur dari jabatannya.
 
Cerita apa yang ada di balik tulisan opini Ghoffar tersebut? Apa benar Ghoffar menulis opini itu didasarkan atas kekecewaan­nya, karena tidak dimasukkan lagi menjadi stafnya hakim Arief Hidayat? Berikut penuturan Abdul Ghoffar Husnan kepada Rakyat Merdeka :

Ada cerita apa sih sesung­guhnya sehingga Anda nekat 'menelanjangi' Ketua MK lewat tulisan opini?
Yang mendasari ya untuk keberlangsungan MK sendiri. Lembaga ini kan bukan main-main, MK ini kan satu dari tujuh lembaga negara yang setingkat dengan presiden. Bahkan putu­sannya pun satu-satunya yang bersifat final and binding, yang akibat dari putusannya itu mem­pengaruhi sekitar 250 juta jiwa rakyat Indonesia. Artinya kita harus bersama-sama menjaga MK. Lembaga ini harus diisi oleh orang-orang yang memiliki kualitas luar biasa.

Keputusan dewan etik sudah fi­nal, dan berdasarkan aturan MK, Prof Arief itu masih memiliki satu kesempatan lagi. Tetapi kan Prof Arief ini seorang negarawan, bukan pegawai biasa. Kalau pegawai biasa memang ada per­ingatan pertama, kedua sampai ketiga. Tapi kan ini negarawan, kalau kita mengacu pada paturan hukum ya memang dikasih tiga kali, namun tulisan saya itu untuk mengetuk hati nurani Prof Arif, ya sudahlah, turunlah.

Selain membahas figur Ketua MK, tulisan Anda juga memba­has soal dewan etik hakim MK. Anda melihatnya seperti apa sih dewan etik itu?

Tulisan saya itu juga untuk memperkuat dewan etik, bahwa dewan etik itu perangkat yang dibentuk oleh MK untuk menga­wasi MK dan anggotanya dipilih oleh MK melalui panitia seleksi. Jadi dewan etik ini harus diper­kuat. Saya tidak menganggap dewan etik ini tidak independen, namun menurut saya harus lebih diperkuat. Karena dewan etik ini tidak main-main, dia men­gawasi sembilan orang (hakim MK) yang di atas putusannya itu hanya ada langit, jadi sangat berbahaya sekali kalau sembilan orang ini tidak diawasi.

Anda sepertinya kepengin sekali Hakim Arief mundur?

Ya sebagaimana ramai diberi­takan sebelum diputus oleh dewan etik, Prof Arief ini di­duga menemui beberapa ang­gota dewan. Di saat itu juga Pak Busyro Muqoddas ramai-ramai mencabut gugatan (uji materi) terkait hak angket.

Nah ini menurut saya san­gat berbahaya. Bagaimana bi­sa, orang sebesar Pak Busyro Muqoddas kemudian tidak per­caya kepada MK dengan me­narik permohonannya, itu kan sangat berbahaya.

MK sebagai lembaga negara yang tidak dipersenjatai dan tidak mempunyai uang, satu-satunya kekuatan MK sebagai lembaga peradilan adalah public trust. Kalau public trust turun, maka ada yang menjamin eng­gak ke depannya kasus Pak Busyro ini tidak terjadi lagi. Kalau orang sudah tidak percaya kepada lembaga peradilan apa yang terjadi?

MK itu harus kita jaga bareng-bareng.

Anda sepertinya nekat banget, tidak khawatir dengan karier Anda di MK?
Kalau ditanya apakah yang saya lakukan ini berisiko atau tidak, ya saya serahkan semua ini kepada Allah SWT saja. Saya perbaiki niat saya sejak tahun 2007, saya mengikuti lembaga ini baru ada seperti bayi baru lahir sampai sekarang. Dulu saja istilah Prof Jimly Asshidiqie itu, MK itu pas baru lahir langsung disuruh lari, tidak merangkak terlebih dulu. Dulu tuh banyak perkara-perkara besar yang di­tangani, namun meskipun yang berperkara kalah, tapi mereka tetap senang, karena mereka per­caya dengan MK, pertimbangan hukumnya bagus.

Kini bagaimana hubungan Anda dengan Prof Arief?
Saya ini kan orang kecil di MK, beliau (Arif Hidayat) itu kan orang baik. Pembicaraan ini kan soal lembaganya. Jadi kalau ada pertanyaan apakah hubun­gan saya ada masalah, saya secara pribadi tidak masalah. Jadi ini bagaimana membangun MK, mungkin kita ingat sekali, bagaimana kasus Akil Mochtar, kasus Pak Patrialis Akbar.

Banyak kalangan menilai tulisan Anda adalah ekspresi kekecewaan Anda kepada Prof Arief karena sudah tidak diberikan tugas menjadi staf­nya lagi. Benar seperti itu?

Dulu memang saya adalah stafnya beliau. Sebelum beliau masuk, saya menjadi stafnya Pak Mahfud MD. Saya secara pribadi sangat menyayangkan komentar yang disampaikan oleh Prof Arief.

Lho memangnya yang me­nilai seperti itu Prof Arief langsung ya?
Saya sih belum memastikan apakah komentar Prof Arief sep­erti itu atau bukan. Karena beliau belum pernah menyampaikan itu secara langsung kepada saya. Kalau pun benar disampaikan oleh Prof Arief, itu sangat berba­haya, sebab yang menyampaikan itu adalah seorang negarawan. Artinya seorang negarawan, tin­dak tanduknya itu, ucapannya itu harus berdasarkan bukti-bukti. Dalam wawancara kamis malam saya menyampaikan, jika Prof Arief tidak mencabut statement­nya itu, saya memikirkan untuk membawa ini ke dewan etik. Meskipun dewan etik sendiri itu seharusnya bisa menangkap itu tanpa harus ada laporan.

Kabarnya Anda selama bekerja di MK juga sering melakukan pelanggaran. Benar begitu?
Saya bekerja ini berdasarkan sistem, enggak mungkin saya sering bolos tapi tidak diketahui oleh sistem. Karena kan saya setiap hari absen pakai finger print, jadi bisa diketahui saya datang jam berapa, pulang jam berapa. Saya juga memiliki atasan langsung, kalau dibilang saya sering keluar kantor pada jam kerja, masa iya saya tidak ada teguran dari atasan langsung saya. Kemudian dalam pemberi­taan disebutkan saya ini minta jabatan, itu tolong dibuktikan kapan dan dimana.

Saya bertemu dengan Prof Arief itu hanya sekali setelah saya pulang dari Australia, itu pun hanya lapor hadir ke ketua MK. Terus saya juga dikatakan sakit hati karena tidak diajak keluar negeri. Saya ini lama tinggal di luar negeri, itu bukan kapasitas saya ingin pergi ke sana, pergi ke sini. Saya juga pertama kali tidak tahu mau diajak ke sana. Lalu ada staf yang meminta saya me­nyerahkan paspor, lalu beberapa hari kemudian menyampaikan bahwa tidak jadi berangkat. Saya tidak berbicara langsung kepada Prof Arief mengenai hal ini. Jadi, bagaimana bisa Prof Arief men­gatakan bahwa saya ini sakit hati karena tidak diajak.

Oh ya, sebenarnya pihak yang meminta ketua MK itu mundur, dari Anda sendiri saja atau ada pihak lain yang menginginkan itu?

Itu murni dari saya, karena kegelisahan saya dengan lem­baga ini karena sejak tahun 2007. Saya melihat lembaga ini kasihan. Saya baru tahu setelah tulisan ini keluar, banyak itu di Facebook memberikan komentar dukungan, di Whatsapp banyak juga teman-teman memberikan dukungan, bahkan tangan saya sampai keriting membalas itu semua.

Dukungan itu dari rekan di MK atau luar MK?
Dari teman di MK, bahkan di luar juga banyak dan dari orang yang tidak dikenal juga banyak.

Juru bicara MK, Fajar Laksono memastikan Anda tidak akan dipecat karena mem­berikan opini tentang ketua MK. Apa tanggapan Anda soal itu?
Secara personal saya melihat Prof Arief ini baik sekali. Lalu sa­ya tidak tahu apakah jubir ini sudah mendapat instruksi langsung dari Prof Arief untuk menyampaikan itu. Tetapi tentunya saya mengu­capkan terima kasih karena MK ada keterbukaan, bahwasannya kritik yang membangun itu di­terima. Jadi ini juga bisa dicontoh oleh lembaga-lembaga lain, ini hikmah yang bisa diambil dari peristiwa. ***

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA