Apa pandangan MUI terhadap putusan MK soal pencanÂtuman kolom kepercayaan dalam KTP elektronik?Dewan Pimpinan MUI sangat memberikan perhatian yang besar terhadap masalah-masalah hukum dan kebangsaan yang saat ini tengah terjadi dan menÂjadi perhatian besar masyarakat Indonesia. Saat ini ada beberapa masalah hukum dan kebangsaan yang penting mendapat respons yang tepat dan arif dari negara dan bangsa, salah satunya adalah pencantuman kolom keperÂcayaan dalam KTP elektronik seÂbagai pelaksanaan putusan MK. Putusan MK itu telah dibahas seÂcara cermat dalam forum Rapat Kerja Nasional III MUI Tahun 2017, di Bogor, Jawa Barat pada 29-30 November 2017 yang lalu. Dari hasil Rakernas yang dilakuÂkan, MUI sangat menyesalkan putusan MK tersebut.
Apa alasannya?Ya karena Putusan MK itu dinilai kurang cermat dan melukai perasaan umat beragama khususnya umat Islam Indonesia, karena putusan tersebut berarti telah menyejajarkan kedudukan agama dengan aliran kepercayaan.
Selain itu, kita dari MUI juga berpandangan bahwa putusan MK tersebut menimbulkan konÂsekuensi hukum dan berdampak pada tatanan kehidupan sosial kemasyarakatan, serta merusak kesepakatan kenegaraan dan politik yang selama ini sudah berjalan dengan baik.
Jadi, sikap MK sebaiknya seperti apa?Ya seharusnya MK dalam mengambil keputusan yang memiliki dampak strategis, sensitif, dan menyangkut hajat hidup orang banyak, membanÂgun komunikasi dan menyerap aspirasi yang seluas-luasnya kepada masyarakat dan pemangku kepentingan, sehingga dapat mengambil keputusan secara obÂjektif, arif, bijak dan aspiratif.
Tapi ini kan persoalan perbedaan agama, keyakinan dan setiap kepercayaan warga negara?Ya memang MUI juga mengÂhormati perbedaan agama, keyaÂkinan, dan kepercayaan setiap warga negara karena hal tersebut merupakan implementasi dari hak asasi manusia yang dilindungi oleh negara sesuai peraÂturan perundang-undangan yang berlaku. Tetapi MUI sepakat bahwa pelaksanaan pelayanan hak-hak sipil warga negara di dalam hukum dan pemerintahan tidak boleh ada perbedaan dan disÂkriminasi sepanjang hal tersebut sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Lalu terkait dengan hak-hak sipil sebagai warga negara, pembinaan warga penghayat kepercayaan agar tetap berada di bawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan seÂbagaimana yang selama ini telah berjalan dengan baik.
Tapi MK sudah kadung meÂmutuskannya. Adakah usulan MUI agar ada jalan keluar terbaiknya? Sebagai pelaksanaan putusan MK yang sesuai konstitusi bersiÂfat final dan mengikat atau final and binding, MUI mengusulkan kepada pemerintah agar kepada penghayat kepercayaan diberiÂkan KTP-elektronik khusus.
Maksudnya bagaimana itu?Ya jadi bagi penghayat keperÂcayaan diberikan KTP-elektronik yang hanya mencantumkan kolom kepercayaan tanpa ada kolom agama dengan isi: Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Kalau untuk warga negara yang sudah memiliki agama?Adapun untuk warga negara yang memeluk agama dan telah mempunyai KTP elektronik, henÂdaknya tidak dilakukan perubaÂhan atau penggantian KTP elekÂtronik sama sekali. Pembuatan KTP elektronik untuk warga penghayat kepercayaan dengan isi kolom yang demikian saja. Itu kan sebagai solusi terbaik bagi bangsa dan negara dalam rangka melaksanakan putusan MK secara arif dan bijaksana. Pembuatan KTP elektronik untuk penghayat kepercayaan tersebut hendaknya dapat segera direalisasikan untuk memenuhi hak warga negara yang masuk kategori penghayat kepercayaan.
Apa usulan itu bukan benÂtuk diskriminatif kepada penghayat kepercayaan?Bukan. Jadi perbedaan antara isi KTP elektronik untuk umat beragama dengan penghayat keÂpercayaan bukanlah pembedaan yang bersifat diskriminatif atau pengistimewaan, namun meruÂpakan bentuk perlakuan negara yang disesuaikan dengan ciri khas dan hak warga negara yang berbeda. Hak warga negara peÂmeluk agama untuk mempunyai KTP elektronik yang mencantuÂmkan kolom Agama sehingga identitas agamanya diketahui secara jelas dan pasti. Demikian pula hak warga negara penghayat kepercayaan untuk mencantumÂkan kolom Kepercayaan dalam KTP elektroniknya sebagai idenÂtitas dirinya. Putusan MK mengeÂnai perkara ini juga menyatakan bahwa memperlakukan berbeda terhadap hak yang berbeda itu bukan diskriminatif. ***
BERITA TERKAIT: