WAWANCARA

Zainut Tauhid Saadi: MUI Usul Penghayat Diberikan E-KTP Khusus, Putusan MK Rusak Kesepakatan Kenegaraan

Kamis, 25 Januari 2018, 11:31 WIB
Zainut Tauhid Saadi: MUI Usul Penghayat Diberikan E-KTP Khusus, Putusan MK Rusak Kesepakatan Kenegaraan
Zainut Tauhid Saadi/Net
rmol news logo Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyayangkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menghalalkan pencantu­man kolom penghayat kepercayaan di dalam KTP elektronik. Menurut Wakil Ketua Umum MUI Zainut Tauhid, keputusan MK sama saja menyejajar­kan aliran kepercayaan den­gan agama. Berikut pernyataan Zainut Tauhid;

Apa pandangan MUI terhadap putusan MK soal pencan­tuman kolom kepercayaan dalam KTP elektronik?
Dewan Pimpinan MUI sangat memberikan perhatian yang besar terhadap masalah-masalah hukum dan kebangsaan yang saat ini tengah terjadi dan men­jadi perhatian besar masyarakat Indonesia. Saat ini ada beberapa masalah hukum dan kebangsaan yang penting mendapat respons yang tepat dan arif dari negara dan bangsa, salah satunya adalah pencantuman kolom keper­cayaan dalam KTP elektronik se­bagai pelaksanaan putusan MK. Putusan MK itu telah dibahas se­cara cermat dalam forum Rapat Kerja Nasional III MUI Tahun 2017, di Bogor, Jawa Barat pada 29-30 November 2017 yang lalu. Dari hasil Rakernas yang dilaku­kan, MUI sangat menyesalkan putusan MK tersebut.

Apa alasannya?

Ya karena Putusan MK itu dinilai kurang cermat dan melukai perasaan umat beragama khususnya umat Islam Indonesia, karena putusan tersebut berarti telah menyejajarkan kedudukan agama dengan aliran kepercayaan.

Selain itu, kita dari MUI juga berpandangan bahwa putusan MK tersebut menimbulkan kon­sekuensi hukum dan berdampak pada tatanan kehidupan sosial kemasyarakatan, serta merusak kesepakatan kenegaraan dan politik yang selama ini sudah berjalan dengan baik.

Jadi, sikap MK sebaiknya seperti apa?
Ya seharusnya MK dalam mengambil keputusan yang memiliki dampak strategis, sensitif, dan menyangkut hajat hidup orang banyak, memban­gun komunikasi dan menyerap aspirasi yang seluas-luasnya kepada masyarakat dan pemangku kepentingan, sehingga dapat mengambil keputusan secara ob­jektif, arif, bijak dan aspiratif.

Tapi ini kan persoalan perbedaan agama, keyakinan dan setiap kepercayaan warga negara?
Ya memang MUI juga meng­hormati perbedaan agama, keya­kinan, dan kepercayaan setiap warga negara karena hal tersebut merupakan implementasi dari hak asasi manusia yang dilindungi oleh negara sesuai pera­turan perundang-undangan yang berlaku. Tetapi MUI sepakat bahwa pelaksanaan pelayanan hak-hak sipil warga negara di dalam hukum dan pemerintahan tidak boleh ada perbedaan dan dis­kriminasi sepanjang hal tersebut sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Lalu terkait dengan hak-hak sipil sebagai warga negara, pembinaan warga penghayat kepercayaan agar tetap berada di bawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan se­bagaimana yang selama ini telah berjalan dengan baik.

Tapi MK sudah kadung me­mutuskannya. Adakah usulan MUI agar ada jalan keluar terbaiknya?
Sebagai pelaksanaan putusan MK yang sesuai konstitusi bersi­fat final dan mengikat atau final and binding, MUI mengusulkan kepada pemerintah agar kepada penghayat kepercayaan diberi­kan KTP-elektronik khusus.

Maksudnya bagaimana itu?
Ya jadi bagi penghayat keper­cayaan diberikan KTP-elektronik yang hanya mencantumkan kolom kepercayaan tanpa ada kolom agama dengan isi: Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.

Kalau untuk warga negara yang sudah memiliki agama?
Adapun untuk warga negara yang memeluk agama dan telah mempunyai KTP elektronik, hen­daknya tidak dilakukan peruba­han atau penggantian KTP elek­tronik sama sekali. Pembuatan KTP elektronik untuk warga penghayat kepercayaan dengan isi kolom yang demikian saja. Itu kan sebagai solusi terbaik bagi bangsa dan negara dalam rangka melaksanakan putusan MK secara arif dan bijaksana. Pembuatan KTP elektronik untuk penghayat kepercayaan tersebut hendaknya dapat segera direalisasikan untuk memenuhi hak warga negara yang masuk kategori penghayat kepercayaan.

Apa usulan itu bukan ben­tuk diskriminatif kepada penghayat kepercayaan?
Bukan. Jadi perbedaan antara isi KTP elektronik untuk umat beragama dengan penghayat ke­percayaan bukanlah pembedaan yang bersifat diskriminatif atau pengistimewaan, namun meru­pakan bentuk perlakuan negara yang disesuaikan dengan ciri khas dan hak warga negara yang berbeda. Hak warga negara pe­meluk agama untuk mempunyai KTP elektronik yang mencantu­mkan kolom Agama sehingga identitas agamanya diketahui secara jelas dan pasti. Demikian pula hak warga negara penghayat kepercayaan untuk mencantum­kan kolom Kepercayaan dalam KTP elektroniknya sebagai iden­titas dirinya. Putusan MK menge­nai perkara ini juga menyatakan bahwa memperlakukan berbeda terhadap hak yang berbeda itu bukan diskriminatif. ***

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA