Apa hasil blusukan dari Tanah Abang kemarin? Dari omongan-omongan kami dengan pedagang maupun pemÂbeli yang sempat kami lihat, kelihatannya ada pembeli yang merasa untung dan penjual merasa untung. Di mana penjual merasa omzet mereka meningkat dibandingkan mereka berjualan di dalam, demikian dari segi pembeli merasa lebih dekat karÂena bisa singgah saat sebelum naik kereta dan seterusnya jadi dari segi sosiologis dan ekonoÂmisnya ternyata positif.
Berarti Ombudsman menÂdukung kebijakan ini? Tidak, karena ada ketentuan administratif yang dilanggar, ada beberapa regulasi yang ditabrak, sehingga kemudian perlu ada sesuatu, apakah itu amandeÂmen, apakah itu diskresi. Jadi jangan kemudian dianggap seÂbagai sesuatu yang benar dengan sendirinya.
Aturan apa saja yang dilÂanggar? Ada undang-undang tentang jalan, tentang lalu lintas jalan, perda tentang pedestrian tata ruang, perda tentang ketertiban umum. Ada 4 sampai 5 aturanlah yang dilanggar ditambah tentang trotoar. Ini yang eksisting dan seyogyanya di invers oleh peÂmerintah sendiri.
Harusnya bagaimana? Pemprov DKI Jakarta seharusnya bisa memberlakukan fungsi jalan sebagaimana mesÂtinya. Jangan kemudian fungsi jalan yang ada diubah secara perÂmanen. Pada dasarnya yang terÂdapat beberapa undang-undang dan perda yang harus dipatuhi.
Kalau Pemprov DKI sudah biasa atau membiasakan diri menabrak aturan, bagaimana ke depannya? Kalau perda atau undang-undang sudah biasa ditabrak, nanti mungkin bukan hanya di Tanah Abang, tetapi juga pada yang lain. Pemprov DKI bisa dituntut lho karena dianggap melanggar aturan. Ada sanksi administratif dan pidana atas pelanggaran aturan.
Meski melanggar, kebijakan ini kan diakui masyarakat berdampak positif? Memang ada dampak positif dari aspek sosiologis. Tetapi peÂlanggaran sejumlah aturan terseÂbut juga tidak bisa diabaikan. Apalagi sudah ada ekspektasi besar dari pedagang dan pembeli untuk bisa tetap berjualan di sana. Bayangkan kalau suatu ketika Pemprov DKI ngusir mereka. Saya kira akan ada perlawanan kuat. Ini yang kemudian menÂimbulkan semacam bom waktu. Kalau memang ada beberapa opsi, kenapa mereka memberikan pendekatan ini yang menimbulÂkan bom waktu.
Lalu apa yang dilakukan Ombudsman selanjutnya? Kami akan mengadakan pertemuan dengan PKL dan pedagang di Blok A dan Blok G Tanah Abang, untuk keperluan kajian yang mendasari rekoÂmendasi kami kepada Pemprov DKI Jakarta.
Sebetulnya kemarin sudah ada beberapa petugas kami yang juga ikut blusukan ke dalam. Kami bagi-bagi tugas. Setelah mendapat hasil dari kajian tersebut, saya berharap gubernur bisa memberikan saran atau rekomendasi yang final dan mengikat.
Belum ada rencana meÂnemui Pemprov DKI guna membahas masalah ini? Tentunya ada. Kami juga akan segera mengatur perÂtemuan dengan mereka untuk membicarakan ini. Semoga dalam waktu dekat ini, kami bisa bertemu dengan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, guna menyampaikan persoÂalan mengenai penataan Tanah Abang. Sebab, menurut kami penyelesaiannya akan kembali ke bapak gubernur dan wakil gubernur sebagai yang memiliki ide tersebut.
Apakah ada masukan terkait masalah ini? Apabila Pemprov DKI merasa bahwa keputusan memindahkan PKL ke Jalan Jatibaru sudah teÂpat, dan ingin diterapkan dalam jangka panjang, saya menyarankan agar Pemprov DKI melobi DPRD DKI Jakarta dan anggota DPR untuk mengubah perda serta undang-undang.
Sementara Gubernur DKI Jakarta memang bisa mengeÂluarkan diskresi, untuk memÂperbolehkan PKL berjualan di Jalan Jatibaru. Tapi masalahnya apakah hal ini bersifat tertentu, terbatas, dan sementara waktu? Rasanya ini proyek jangka panÂjang nih.
PKL-nya juga enggak dikasih tahu berapa lama mereka di sini, tetapi kok rasanya ini sudah keluar dari teori diskresi ya. ***
BERITA TERKAIT: