Kasus Nabi Ibrahim ini dilihat dalam pandangan hukum positif sudah memenuhi syarat untuk diÂjatuhkan sanksi. Namun demikian, kasus ini diangÂgap tidak perlu ada sanksi bahkan dianggap seÂbagai sebuah sunnah yang harus diikuti. Perintah penyembelihan itu diyakini dari Tuhan disampaikan melalui mimpi Nabi Ibrahim As. Penyembelihan itu sesungguhnya sudah terlaksana, hanya pisaunya Nabi Ibrahim saja yang tidak bisa memotong leher anaknya. Secara hukum positif, perbuatan Nabi Ibrahim sudah masuk kategori perbuatan pidana. Al-Qur’an tidak menjelaskan apa tujuan perintah penyembelihan itu dilakukan. Kita hanya bisa meÂmahami bahwa Nabi Ibrahim sedang dicoba oleh Tuhan dengan disuruh menyembelih sesuatu yang paling berharga dalam hidupnya, yaitu putra yang sudah lama dimimpikan.
Untung saja pisau Nabi Ibrahim tidak mampu menggorok leher anaknya dan selanjutnya diganti dengan seekor qibas. Sampai sekarang ini penyemÂbelihan hewan qurban melekat di dalam hari raya Idul Adha setiap tahun. Hukumnya wajib bagi yang memiliki kemampuan. Seandainya tidak digantikan dengan (domba) gibas berarti anak kandung yang harus disembelih, maka sudah barang tentu akan menjadi masalah kemanusiaan sekarang. Khitan anak permpuan yang hanya dianjurkan menggores secara formalitas pada kelamin anak perempuan sudah diributkan oleh pegiat Hak Asasi manusia, karena dianggap mutilasi, apa lagi setiap kepala keluarga harus mengurbankan seorang anak kandÂungnya, seperti yang pernah berlaku di dalam seÂjumlah kabilah di Timur Tengah di masa lalu.
Kasus penyembelihan Nabi Ibrahim kepada anaknya tidak bisa dijadikan dasar seorang ayah menyembelih anak kandungnya. Bagaimana pun juga kasus penyembelihan Nabi Ibrahim terhadap anaknya tidak bisa dijadikan alat pembenaran melakukan penyiksaan terhadap anak. SemanÂgat yang bisa ditangkap dari kasus penyembeliÂhan anak manusia (human sacrifation) diturunkÂan lalu menjadi penyembelihan binatang (animal sacrifation) lebih merupakan pesan moral bahwa setiap orang memiliki sesuatu yang paling dicinÂtainya. Apakah ia bersedia mengorbankan objek kecintaannya itu demi Tuhan. Dalam keyakinan Abrahamic Religion, penyembahan dan pengabÂdian hanya kepada Tuhan harus di atas segala-galanya. Objek paling dicintai Nabi Ibrahim ialah anak tunggalnya saat itu. Untuk kita dewasa ini mungkin objek kecintaan kita selain anak mungÂkin jabatan, harta, atau properti lainnya. Relakah kita mengorbankannya itu demi kecintaan kita keÂpada Tuhan? Kasus ini tidak bisa dijadikan alaÂsan untuk mendiskreditkan agama tertentu kareÂna tujuannya memang bukan untuk menyembelih anak, melainkan sebagai bentuk komitmen punÂcak seorang hamba kepada Tuhan yang mempuÂnyai hikmah besar.