Hanya saja beberapa dekade lalu ketika Cak Nur memopulerkan istilah ini masih ada yang ragu. Sebagian mengkhawatirkan jangan sampai masyarakat madani anak tangga yang berujung ke Piagam Jakarta. Sebagian lainnya justru menÂcurigai adanya proses sekularisasi masyarakat yang berbaju agama. Sekularisasi secara sederÂhana dapat diartikan sebagai pemisahan agama yang bersifat sakral dari hal-hal yang bersifat proÂfan-duniawi. Masyarakat madani memang wajar diragukan oleh sekelompok orang karena saat itu ICMI sedang tumbuh pesat sampai ke tingkat caÂbang di daerah. Dari kelompok lain juga mencuriÂgai upaya penyingkiran kelompok elite pesantren oleh elite birokrat dan teknokrat. Apalagi saat itu sedang dikembangkan kebijakan urusan keaÂgamaan terkonsentrasi di Kementerian Agama dan MUI serta ormas-ormas keagamaan.
Masyarakat madani sesungguhnya usaha unÂtuk menata masyarakat secara profesional. PeÂmerintah sama sekali tidak akan meninggalkan agama di dalam pembangunan, yang justru akan mengancam semua kebijakannya tanpa partisiÂpasi aktif kaum agamawan. Konsep masyarakat madani pemerintah memberi ruang pada hal-hal yang bersifat profan dalam masyarakat, tetapi tetap merujuk dan bersandar pada nilai-nilai agama. Dengan demikian, masyarakat tidak perÂlu diasingkan dari agama atau sebaliknya, sepÂerti yang terjadi pada masa aufklarung, August Comte di mana agama dianggap sebagai pengÂhambat kemoderenan. Masyarakat Barat sendiri, yang lebih banyak dianggap sebagai pengusung sekularisme, pada akhirnya mengakui bahwa perÂan agama sangat besar dalam proses demokratiÂsasi. Karena itu, diperlukan kejelian untuk melihat makna sekularitas dan perbedaan antara akar-akar tradisi dan modernitas. Sebab kesalahan daÂlam melihat persoalan ini bisa berakibat fatal.
Dalam konteks NKRI, yang diperlukan adaÂlah pengayaan variasi dan spektrum pada tingÂkat elemen-elemen yang memperkuat proses pencerahan masyarakat (enlightenment), sepÂerti pada lembaga-lembaga kemasyarakatan, sebutlah misalnya, NU, Muhammadiyah, ICMI, LSM, dan sebagainya. Harus diakui bahwa pada setiap elemen tersebut ada nilai-nilai yang bersifat universal dan partikular. Pencerahan pada tataran visi dimaksudkan untuk menghinÂdari adanya kecenderungan partikularistik yang sangat berorientasi pada penguatan identiÂtas individu atau kelompok. Padahal, dalam masyarakat madani, identitas ini harus dapat ditransendensikan pada komunitas universal, sehingga komunitas menjadi identitas akhir.
Masyarakat madani adalah perbendahaÂraan kata yang sudah mulai populer di IndoneÂsia, yang maksudnya adalah suatu masyarakat yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, kemerdekaan dan keterbukaan. Dari segi ini masyarakat madani menjadi sama dengan civÂil society meskipun dalam beberapa segi kedÂua istilah ini tidak identik. Jika yang dimaksud masyarakat madani seperti dijelaskan di atas, maka ada sejumlah ayat dan hadis dapat dikeÂmukakan, antara lain sebagai berikut: SeanÂdainya Tuhanmu menghendaki, tentulah beriÂman semua orang di bumi, seluruhnya! Maka, apakah engkau (hai Muhammad) akan memakÂsa manusia sehingga mereka beriman semua? (QS. Yunus/10: 99). Tidak ada paksaan dalam agama; (QS. al-Baqarah/2: 256). Dan juga QS. al-'ankabut/29: 46.
Ayat-ayat tersebut di atas dapat dipahami dengan arif bahwa terdapat sejumlah ayat yang dapat digunakan untuk mewujudkan keseimÂbangan antara berbagai pihak dan pada akhÂirnya akan menguntungkan semua pihak jika disikapi dengan arif.
Wallahu a'lam.