Ketika kita sampai di perbatasan Tanah Haram (
mikat), kita menanggalkan pakaian kebesaran kita, menggantikannya dengan pakaian ihram. Ini pertanÂda bahwa kita berikrar menanggalkan atribut egoÂisme dan memarkir rasa keakuan kita lalu melarutÂkan diri ke dalam atribut kebersamaan. Kita melebur kelas dan status sosial-budaya kita ke dalam ruang dan waktu egaliter. Tidak ada lagi pembantu di sampÂing tuan dan nyonya. Tidak ada lagi jenderal di sampÂing prajurit. Tidak ada lagi militer di samping sipil. Tidak ada lagi pemimpin, raja, dan presiden di sampÂing rakyat. Tidak ada lagi konglomerat di samping rakyat miskin. Tidak ada lagi pemilik modal di sampÂing buruh. Tidak ada lagi ustaz di samping jamaah. Tidak ada lagi guru dan dosen di samping murid dan mahasiswa. Tidak ada lagi kulit putih di samping kulit hitam. Tidak ada lagi orang tua atau senior di sampÂing anak atau yunior. Tidak ada lagi laki-laki di sampÂing perempuan. Tidak ada lagi malaikat di samping manusia. Seolah-olah yang ada hanya Tuhan dan hamba. Sang hamba pun seolah-olah ingin melebur dengan Tuhannya, sehingga seolah-olah terwujud sang hamba dan Tuhan sedang menyatu,
al-'abid wal ma'bud wahid, seperti kata kalangan sufi.
Setelah kembali ke Tanah Air, kita dapat menÂgukur apakah haji atau umrah kita mabrur atau tidak. Masih utuhkah komitmen pelepasan atribut egoisme kita di dalam kehidupan ini? Masih namÂpakkah kelembutan lafaz-lafaz talbiyah di dalam pergaulan kita? Masih bertahankah kebeningan hati kita? Masih luruskah jalan pikiran kita? Masih bertahankah rasa cinta dan rindu kita kepada Nabi kita? Masih khusyukkah doa kita? Masih lengkapÂkah salat-salat sunnat kita? Masih bertahankah frekuensi bacaan Al-Qur’an kita? Sebagai tuan atau nyonya, sudah berubahkah peralkuan kita terhadap pembantu dan supir kita? Sebagai jenÂderal, sudah berubahkah perlakuan kita terhadap prajurit kita? Sebagai pemimpin, sudah berubahÂkah sikap kita terhadap rakyat kita? Sebagai peÂmegang amanah kekayaan, sudah berubahkah perlakuan kita terhadap fakir miskin? Sebagai peÂmegang amanah kepintaran, sudah berubahkah sikap dan perlakuan kita kepada murid, jamaah, dan mahasiswa kita? Sebagai suami atau isteri, sudah berubahkah perlakuan kita kepada suami atau isteri kita? Sebagai orang tua atau senior, suÂdah berubahkah perlakuan kita kepada anak atau senior kita?
Yang paling penting, sudah berubahkah relasi kita dengan Tuhan kita? Apakah Tuhan kita sudah terasa semakin dekat? Apakah jiwa kita sudah semakin tenÂang? Apakah hati kita sudah semakin cerah? Apakah nafsu kita sudah semakin jinak? Apakah kebencian kita terhadap dosa dan maksiat sudah sedemikiÂan besar? Apakah ibadah kita sudah semakin berÂgairah? Apakah pikiran kita sudah sedemikian lurus? Apakah perilaku kita sudah semakin lembut? ApakÂah tutur kata kita sudah semakin santun? Apakah hidup kita semakin terasa optimis? Apakah hubunÂgan kita dengan alam sudah sedemikian bersahaÂbat? Apakah rasa toleransi kita sudah semakin terÂbuka? Kesemuanya ini adalah indikator mabrur atau tidaknya haji kita. Tentu kita tidak ingin hanya mendaÂpatkan haji maqbul (sah) tetapi lebih dari itu kita ingi haji mabrur, berdampak positif pada diri sendiri, keÂluarga, masyarakat, bangsa dan negara, lingkungan alam dan dengan Allah Swt. Haji mabrur diharapkan juga mempertebal rasa kepancasilaan kita.