Pancasila & Nasionalisme Indonesia (92)

Mendalami Sila Keempat: Mengapa Dengan Negara Islami?

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/nasaruddin-umar-5'>NASARUDDIN UMAR</a>
OLEH: NASARUDDIN UMAR
  • Selasa, 07 November 2017, 09:19 WIB
Mendalami Sila Keempat: Mengapa Dengan Negara Islami?
Nasaruddin Umar/Net
PERTANYAAN yang sering muncul dari kalangan aktivis generasi muda mengapa the founding fathers kita berges­er memilih corak negara Is­lami, bukannya memilih konsep Negara Islam, sep­erti sejumlah negara ber­penduduk mayoritas muslim lainnya, misalnya Pakistan, Afganistan, Iran, dll? Jawaban dari para pelaku sejarah sangat bisa dimengerti, yaitu demi ter­capainya keutuhan bangsa Indonesia yang baru saja dimerdekakan. Seperti kita tahu, hanya be­berapa saat setelah diproklamirkan kemerde­kaan RI kemudian ditetapkan dasar negara yang dikenal dengan Piagam Jakarta, ternyata ada kelompok tertentu yang keberatan dengan dasar negara itu dengan alasan tidak sejalan dengan aspirasi kelompok minoritas non-mus­lim dari wilayah timur Indonesia. Perkemban­gan berikutnya dicoretlah beberapa kata dalam Piagam Jakarta, yaitu "Ketuhanan dengan ke­wajiban menjalankan Syari'at Islam bagi peme­luknya", menjadi "Ketuhanan Yang Maha Esa".

Pencoretan beberapa kata tersebut sesungguhnya tidak mempengaruhi keberadaan NKRI. Piagam Jakarta tidak menyimbolkan Negara Is­lam tetapi masih lebih kepada Negara Islami. Piagam Jakarta dan Pancasila masih tetap menekankan Indonesia sebagai Negara Isla­mi. Mungkin itu sebabnya the founding fathers kita tidak merasa kehilangan sesuatu yang luar biasa dengan hilangnya beberapa kata dalam Piagam Jakarta. Pencoretan sejumlah kata di dalam Piagam Jakarta sesungguhnya hampir sama dengan apa yang terjadi di dalam proses perumusan Perjanjian Hudaibiyah di masa Ra­sulullah Saw.

Piagam Hudaibiyah adalah suatu piagam yang menginspirasi banyak langkah diploma­tis para pemimpin dunia Islam, mulai zaman Khalifah Umar sampai saat sekarang. Untuk mencegah konflik dan perang terbuka memang diperlukan akal cerdas untuk menyelamatkan dua kubu yang berkonflik. Itulah yang dilaku­kan Nabi Muhammad Saw ketika ia berhada­pan dengan tokoh-tokoh Quraisy yang dipimpin Suhail dan delegasi umat Islam ia pimpin lang­sung. Nabi menganalisa jika tidak dilakukan perjanjian gencetan senjata maka pasti akan jatuh banyak korban dari kedua belah pihak.

Redaksi dalam piagam itu, Nabi minta di­awali dengan kata Bismillahirrahmanirrahim, tetapi ditolak oleh Suhail karena kalimat itu as­ing baginya, lalu ia mengusulkan kalimat bis­mikallahumma, kalimat yang popular di dalam masyarakat Arab ketika itu. Sebagai penutup, perjanjian itu diusulkan dengan kata: Hadza ma qadha 'alaihi Muhammad Rasulullah (per­janjian ini ditetapkan oleh Muhammad Rasu­lullah). Akan tetapi Suhail kembali menolak kalimat ini dan mengusulkan kata: Hadza ma qudhiya 'alaihi Muhammad ibn 'Abdullah (per­janjian ini ditetapkan oleh Muhammad putra Ab­dullah). Pencoretan basmalah dan kata "Rasu­lullah" membuat para sahabat tersinggung dan menolak perjanjian itu, namun Rasulullah mem­inta para sahabatnya untuk menyetujui naskah perjanjian itu. Konon Rasulullah mengambil alih sendiri pencoretan itu karena sahabat tidak ada yang tega mencoret kata Rasulullah, yang di­anggapnya sebagai salah suatu prinsip dasar aqidah.

Spirit yang ditanamkan Rasulullah di Madi­nah sesungguhnya lebih menancapkan Neg­ara Islami ketimbang Negara Islam. Meskip­un beliau seorang Nabi dan tentu kita yakin di-backup oleh Allah Swt, namun Nabi tetap mengedepankan dialog. Dialog yang dilaku­kan Nabi bukan hanya dalam kasus Hudaibi­yah, tetapi juga sejumlah perjanjian damai lain dengan musuh-musuhnya telah dilakukan. Ini pertanda Nabi lebih mementingkan kebijakan yang berakar dari hati nurani ketimbang ses­uatu yang ditancapkan dari atas.

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA