WAWANCARA

Siane Indriani: Selain Pekerjakan Anak Di Bawah Umur, Masih Banyak Lagi Pelanggaran Lain

Rabu, 01 November 2017, 11:12 WIB
Siane Indriani: Selain Pekerjakan Anak Di Bawah Umur, Masih Banyak Lagi Pelanggaran Lain
Siane Indriani/Net
rmol news logo Banyaknya korban jiwa yang tewas dalam insiden kebakaran di pabrik petasan di daerah Kosambi, Tangerang-Banten dicurigai banyak terjadi pelanggaran hak asasi manusia. Untuk menyelediki itu, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) melakukan investigasi ke lokasi.

"Korban yang tewas itu tidak sedikit, tapi mencapai 48 jiwa saat itu. Ini merupakan tragedi yang serius dan harus ditindaklanjuti. Kami pun turun ke sana," kata komisioner Komnas HAM Siane Indriani saat berbincang dengan Rakyat Merdeka, kemarin.

Apa hasil dari invesitagasi yang ditemukan Komnas HAM atas kebakaran di pabrik yang bernama PT Panca Buana Cahaya Sukses itu? Berikut pen­jelasan Siane Indriani;

Apa fakta yang Anda dapat usai investigasi ke lokasi kejadian?
Jadi kemarin kami melakukan pengecekan dari segi manu­sianya ya, karena hingga data terakhir, jumlah korban yang meninggal itu sangat fantastis ya jumlahnya, dari 47 korban jiwa ke 48 korban jiwa. Ini merupa­kan tragedi yang sangat serius untuk ditangani.

Apa Komnas HAM ikut me­nemui korban selamat untuk mendapatkan informasi?

Jadi kemarin kita bertemu dengan para korban di RSU Kabupaten Tangerang dan di rumah sakit ibu dan anak BUN selain kami ke TKP. Memang saat kami melakukan wawancara dengan korban, semuanya itu tidak layak ya.

Dari sisi korban yang kita lihat itu begitu banyak ya dalam waktu yang singkat dan kalau kita lihat standar keselamatan kerja itu sepertinya sama sekali tidak ada.

Kemarin juga sudah dikatakan oleh para korban bahwa mereka sudah mengingatkan, 'Kok itu ada tukang las?'. Memang tu­kang las itu mau mengelas asbes atas, namun mereka (tukang las) mengatakan 'oh ini tidak apa-apa'. Nah sebenarnya, sebelum kejadian (ledakan hingga keba­karan), ada ketakutan dari para pekerja di sana.

Informasi yang berkem­bang, katanya banyak pekerja anak di bawah umur di pabrik tersebut. Benarkah?
Jadi memang dari yang kami temui para korban kebanya­kan perempuan dan anak-anak, mereka di bagian packaging karena memang dibutuhkan keterampilan untuk mengepak­nya. Jadi pola rekrutmennya itu tidak benar, sistem kerjanya itu borongan, jadi satu grup itu lima orang. Dan satu grup itu harus bisa mengepak dalam satu harinya hingga 1.000 pak per hari dari jam 8 hingga jam 5 sore, mereka ada istirahat di jam 12 siang selama satu jam. Nah yang menjadi masalah adalah mereka boleh merekrut siapa saja.

Maksudnya apa boleh merekrut siapa saja?
Ya misalnya saja mereka mengajak teman, saudara, tanpa harusada KTP, hanya menuliskan nama-nama bahwa hari ini siapa yang datang, nanti tinggal hitung berapa yang dikerjakannya. Kalau mereka dapat 1.000 pak dalam sehari, maka satu orang itu mendapatkan Rp 50 ribu per orangnya, namun kalau mereka tidak mencapai target maka upahnya itu akan dipotong.

Yang menyedihkan, saat kami tanya seorang anak Anggi, dia mengaku kerjanya mencampur tiga bahan. Tapi bahan apa yang dicampur, ternyata anak itu tidak tahu. Yang terpenting dia mencampurkan bahan-bahan itu di dalam mixer, begitu saja, tidak ada aturannya. Ketika tiga bahan itu sudah dicampur, maka itu adalah bahan peledak. Lalu saya tanya kepada dia yang baru berusia 15 tahun, apakah ada anak lainnya yang dikerjakan, katanya banyak. Ada yang baru berusia 13 tahun.

Kok mereka bisa kerja di sana?
Ya mereka mengaku 'saya hanya menulis nama saja dan diserahkan ke nyai saya.' Lalu saya tanya juga kenapa mereka kerja di sana, ya mereka butuh uang, mereka mencari sesuap nasi. Ya saya melihat ini miris sekali, mereka ini kebanyakan tidak lulus sekolah. Maka ini harus menjadi evaluasi dari berbagai sektor.

Dari fisik pabrik, dari temuan Komnas HAM apa sudah sesuai standar?

Jadi kami juga kaget ketika melihat gudang tersebut karena di luar kawasan industri pergu­dangan, lebih dekat dengan SMP 3 dan dekat sekali dengan pemu­kiman. Padahal ini memproduksi barang-barang berbahaya, ini adalah bahan peledak, potrasium nitrat dicampur dengan sulfur, arang, maka itu adalah bahan peledak.

Namun bagaimana mungkin bahan peledak dilakukan dengan keamanan seperti itu, dengan standar kerja seperti itu, serta dikerjakan oleh orang-orang yang mohon maaf, tidak memenuhi standar. Kita ca­pek-capek mencegah, namun ternyata di depan itu adalah bahan peledak bisa diproduksi sebebas itu dan tanpa adanya pengawasan yang ketat pada­hal di tengah kawasan hunian, serta dilakukan oleh orang-orang yang tidak terdidik. Standar kerja mereka ini seperti tenaga kerja garmen, jadi ini tidak ada namanya standar industri.

Kabarnya para pekerja di sana tidak punya asuransi keselamatan kerja...
Jadi mereka ini tidak ada perjanjian kerja, tidak ada data-data berapa pekerjanya, honornya berapa, yang awalnya mereka mengaku Rp 40 ribu, namun akhirnya mereka mengaku hanya Rp 25 ribu, dan ini tidak perlindungan kerja. Ketika kita masuk ke rumah sakit, tidak ada data yang menun­jukkan mereka ini adalah pekerja, ini pekerja mana, ini dijelaskan karena ada polisi saja.

Meskipun Anda sebut ban­yak kejanggalan, buktinya pabrik itu sudah punya izin dari pemerintah daerah setempat lho...
Kalau kemarin ada izin, izin apa ya? Bagaimana supervisin­ya, kalau seperti ini kita melihat jauh, ini tragedi ketenagaker­jaan. Coba dalam kondisi seka­rang kok masih ada pembuatan barang berbahaya serampangan seperti ini tanpa ada standar itu sangat disesalkan. ***

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA