Yang lebih mendasar lagi karena bentuk kekerasan itu sering dilegitimasi dengan dalil-dalil agama dan nilai-nilai luhur budaya. SeoÂlah-olah perempuan tidak boleh menganggap dirinya sejajar dengan kaum laki-laki. Di antara dalil agama yang sering dikemukakan untuk melakukan pemojokan kaum perempuan ialah: "Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum perempuan, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laÂki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. (Terjemahan Dep. Agama). (Q.S. al- Nisa’/4:34)." Perhatikan terjemahan tersebut, kata qawwamun sekian lama diartikan denÂgan "pemimpin" yang berkonotasi struktural, padahal kata ini bisa diartikan pendamping, pemelihara, atau penaggung jawab yang lebÂih berkonotasi fungsional. Kata "pemimpin" di dalam bahasa Indonesia tidak identik dengan
qawwamah dalam bahasa Arab. Bandingkan dengan terjemahan Yusuf Ali menerjemahkanÂnya ke dalam bahasa Inggris dengan:
man are the protectors and maintainers of women (laÂki-laki adalah pelindung dan pemelihara bagi perempuan). Terjemahan terakhir KementeriÂan Agama dilakukan penyesuaian. Kata
qawÂwamah diubah pengertiannya menjadi "pelindÂung", bukan lagi pemimpin. Ini sebuah langkah maju dalam kesetaraan gender.
Meskipun demikian, ayat ini tidak dapat dijadiÂkan dasar menolak kepemimpinan perempuan karena ayat ini hanya untuk menjelaskan suatu kasus keluarga (rumah tangga) yang diadukan kepada Rasulullah, lalu ayat ini turun sebagai jawaban untuk menyelesaikan kasus tersebut. Lagi pula, potongan ayat berikutnya terdapat muqayyad yang memberikan penegasan bahwa yang berhak untuk menjadi pemimpin ialah merÂeka yang memiliki potensi dan kelebihan di antara mereka (laki-laki atau perempuan).
Muhammad Abduh dalam Al-Manar-nya tidak memutlakkan kepemimpinan laki-laki terhadap perempuan. Alasannya karena ayat ini mengÂgunakan kata:
Bi ma fadldlalallahu ba’dhahum ‘ala ba’dh (sebagaimana Allah telah melebihÂkan sebahagian mereka atas sebahagian yang lain), bukannya mengatakan: Bi ma fadldlalahum 'alaihinn, atau bi tafdhilihim 'alaihin yang lebih teÂgas menunjuk laki-laki mempunyai kelebihan di atas perempuan.
Dengan demikian, kekerasan politik dengan menjadikan dalil-dalil tersebut sebagai dasar legitiÂmasi sudah dapat ditinjau kembali. Pemahaman seperti ini malah kontra produktif dengan kisah panÂjang-lebar Ratu Balqis yang diberi gelar
laha 'arsy al-'adhim (pemilik
superpower) yang melahirkan masyarakat
"baldah thayyibah wa Rab al-gafur".