Pancasila & Nasionalisme Indonesia (81)

Mendalami 'Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab': Menghindari Kekerasan Berbasis Gender: Kekerasan Wali Mujbir

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/nasaruddin-umar-5'>NASARUDDIN UMAR</a>
OLEH: NASARUDDIN UMAR
  • Selasa, 24 Oktober 2017, 09:53 WIB
Mendalami 'Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab': Menghindari Kekerasan Berbasis Gender: Kekerasan Wali Mujbir
Nasaruddin Umar/Net
rmol news logo Masih sering terdengar cerita kekerasan terhadap anak perempuan atas nama wali mujbir, yaitu ayah atau kakek sang gadis. Posi­si ayah atau kakek seba­gai wali mujbir (pemaksa) masih banyak dikeluhkan oleh anak perempuan. Se­bagai wali mujbir ia ber­hak menentukan pilihan jodoh anak atau cucu perempuannya. Masalah sering muncul karena pilihan orang tua tidak selamanya sesuai den­gan pilihan anak atau cucu. Bahkan kadang se­baliknya, pilihan orang tua tidak sesuai dengan kehendak dan kebutuhan seorang anak. Pilihan anak seringkali tidak disetujui oleh orang tua. Anak yang tidak memiliki kemandirian dan ke­mampuan untuk berdialog dengan orang tuan­ya pada umumnya harus menerima jodoh yang dipaksakan oleh orang tua.

Seringkali anak perempuan tidak berdaya menghadapi kenyataan pilihan orang tua kar­ena tekanan fisik dan psikologis. Kadang-ka­dang seorang gadis merasa pasrah kepada pi­lihan orang tua, karena memilih laki-laki pujaan yang tidak direstui orang tua (ayah/kakek) bisa berakibat fatal. Selain akan ancaman psikolo­gis kedurhakaan, juga akan berakibat sah atau­tidaknya perkawinannya, mengingat meng­hadapi sahnya sebuah perkawinan seorang gadis harus mempunyai restu dari ayah atau kakeknya sebagai wali mujbir.

Dominasi wali mujbir yang berlebihan ter­hadap seorang anak terkadang lebih meru­pakan intervensi budaya dan karakter pribadi ayah/kakek daripada tuntunan agama. Dalam Islam, nilai kebebasan dan kemerdekaan itu sangat dijunjung tinggi, baik secara pribadi maupun kolektif. Jika ada penafsiran agama yang bertentangan dengan prinsip ini mungkin perlu diadakan peninjauan secara kritis. Pada hakekatnya perkawinan itu adalah urusan seu­mur hidup bahkan sampai di akhirat kelak. Jika bermasalah dari awal maka tidak mustahir per­masalahan berlanjut hingga akhir.

Rasulullah Saw pernah didatangi seorang anak gadis yang mengajukan halnya, yaitu ayahnya memaksakan calon yang ia tidak su­kai. Lalu Rasulullah mengembalikan urusan ini kepada anak itu. Meskipun pada akhirnya anak itu menerima calon pilihan orang tuanya, tetapi hadis ini menunjukkan bahwa Rasulullah send­iri memberikan pembenaran bahwa orang tua dalam kapasitasnya sebagai wali mujbir tidak boleh serta merta memaksakan kehendaknya kepada anaknya. Apalagi anak-anak masa sekarang ini begitu merdeka di dalam menen­tukan masa depannya sendiri.

Semangat hadis Nabi tersebut di atas juga bisa dimaknai bahwa Nabi tidak sejalan dengan tradisi jahiliyah saat itu wali mujbir terkadang bertindak sebagai "penjual" terhadap anak perempuannya kepada laki-laki kaya hidung belang, atau mempersembahkan anaknya ke­pada keluarga raja untuk kepentingan fragmatis tertentu. Semangat hadis ini mengingatkan agar para wali mujbir tidak melakukan pemaksaan di luar batas kepantasan terhadap anak yang be­rada di bawah pengampuhannya. Dalam kitab-kitab Fikih, pendapat yang memberikan otori­tas lebih besar kepada wali mujbir dianut oleh Imam Syafi', suatu mazhab yang banyak dianut di Indonesia. Namun demikian, mazhab ini juga mensyaratkan fungsi ijbar itu kepada beberapa persyaratan yang tidak terkesan mendhalimi atau menjerumuskan anak sendiri.

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA