Seringkali anak perempuan tidak berdaya menghadapi kenyataan pilihan orang tua karÂena tekanan fisik dan psikologis. Kadang-kaÂdang seorang gadis merasa pasrah kepada piÂlihan orang tua, karena memilih laki-laki pujaan yang tidak direstui orang tua (ayah/kakek) bisa berakibat fatal. Selain akan ancaman psikoloÂgis kedurhakaan, juga akan berakibat sah atauÂtidaknya perkawinannya, mengingat mengÂhadapi sahnya sebuah perkawinan seorang gadis harus mempunyai restu dari ayah atau kakeknya sebagai wali mujbir.
Dominasi wali mujbir yang berlebihan terÂhadap seorang anak terkadang lebih meruÂpakan intervensi budaya dan karakter pribadi ayah/kakek daripada tuntunan agama. Dalam Islam, nilai kebebasan dan kemerdekaan itu sangat dijunjung tinggi, baik secara pribadi maupun kolektif. Jika ada penafsiran agama yang bertentangan dengan prinsip ini mungkin perlu diadakan peninjauan secara kritis. Pada hakekatnya perkawinan itu adalah urusan seuÂmur hidup bahkan sampai di akhirat kelak. Jika bermasalah dari awal maka tidak mustahir perÂmasalahan berlanjut hingga akhir.
Rasulullah Saw pernah didatangi seorang anak gadis yang mengajukan halnya, yaitu ayahnya memaksakan calon yang ia tidak suÂkai. Lalu Rasulullah mengembalikan urusan ini kepada anak itu. Meskipun pada akhirnya anak itu menerima calon pilihan orang tuanya, tetapi hadis ini menunjukkan bahwa Rasulullah sendÂiri memberikan pembenaran bahwa orang tua dalam kapasitasnya sebagai wali mujbir tidak boleh serta merta memaksakan kehendaknya kepada anaknya. Apalagi anak-anak masa sekarang ini begitu merdeka di dalam menenÂtukan masa depannya sendiri.
Semangat hadis Nabi tersebut di atas juga bisa dimaknai bahwa Nabi tidak sejalan dengan tradisi jahiliyah saat itu wali mujbir terkadang bertindak sebagai "penjual" terhadap anak perempuannya kepada laki-laki kaya hidung belang, atau mempersembahkan anaknya keÂpada keluarga raja untuk kepentingan fragmatis tertentu. Semangat hadis ini mengingatkan agar para wali mujbir tidak melakukan pemaksaan di luar batas kepantasan terhadap anak yang beÂrada di bawah pengampuhannya. Dalam kitab-kitab Fikih, pendapat yang memberikan otoriÂtas lebih besar kepada wali mujbir dianut oleh Imam Syafi', suatu mazhab yang banyak dianut di Indonesia. Namun demikian, mazhab ini juga mensyaratkan fungsi ijbar itu kepada beberapa persyaratan yang tidak terkesan mendhalimi atau menjerumuskan anak sendiri.