Pancasila & Nasionalisme Indonesia (79)

Mendalami 'Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab': Menghindari Kekerasan Berbasis Gender: Kekerasan Seksual

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/nasaruddin-umar-5'>NASARUDDIN UMAR</a>
OLEH: NASARUDDIN UMAR
  • Senin, 23 Oktober 2017, 08:56 WIB
Pancasila & Nasionalisme Indonesia (79)
Nasaruddin Umar/Net
BENTUK kekerasan lain yang berbasis gender ialah kek­erasan seksual. Bentuk kek­erasan ini banyak menjadikan perempuan sebagai korban. Kekerasan seksual banyak dipicu oleh mitos-mitos tradis­ional tentang seksualitas, sep­erti mitos selaput dara, seks tabu, sakralisasi khitan, mis­teri hubungan kelamin pertama, mitologisasi tubuh perempuan, mistikasi orgasme, fikih air mani, keper­cayaan di balik erotisme, dan akhlak berhubungan seks, sampai kepada apa yang disebut dengan ken­dali seksual dan kesenangan biologis (sexual drives and enjoyment). Kesemuanya ini ada yang merujuk kepada pemahaman agama dan lainnya merujuk kepada tradisi luhur.

edudukan perempuan dalam lintasan sejarah kultural kawasan Timur Tengah dan Eropa di masa lampau, berada di bawah subordinasi laki-laki. Tang­gung jawab, risiko, dan beban dalam proses re­produksi, sebagian besar berada di pundak perem­puan. Elemen-elemen seksual, seperti kenikmatan seksual (sexual enjoyment) seakan-akan hanya dap­at dirasakan oleh masyarakat kelas atas. Dalam nov­el "Seribu Satu Malam (Alf Lai l wa Lail)," diceritakan perempuan bangsawan dapat menikmati kepuasan seksual dari kehebatan otot tegar budak laki-laki ne­groid. Apalagi kaum laki-lakinya, mereka dapat me­nikmati gadis-gadis perawan setiap malam, dengan berlindung di bawah institusi harem yang seolah-olah ditolerir oleh agama dan negara. (Geoffrey Parrinder, Sex in the World's Religions, h. 166).

erdapat beberapa ayat dan hadis yang sering disalah pahami dan dijadikan dalil untuk melegiti­masi kesewenang-wenangan hak seksual laki-la­ki, seperti dalam ayat: "Istri-istrimu adalah (sep­erti) tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki. Dan kerjakanlah (amal yang baik) untuk dirimu, dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa kamu kelak akan menemui-Nya". (Q.S. al-Baqarah/2:223). Ayat ini sering dijadikan sebagai dasar untuk me­legitimasi otoritas seksual laki-laki, padahal motif seperti ini jauh melenceng dari konteks dan sabab nuzul ayat di atas. Perempuan diumpamakan se­bagai "kebun" yang dapat digarap kapanpun dan dengan teknik dan gaya apapun, sesuai dengan selera laki-laki. Ayat ini sesungguhnya turun un­tuk menjawab pertanyaan kalangan sahabat yang menanyakan tanggapan Rasulullah tentang mitos orang-orang Yahudi yang mengatakan orang yang mendatangi istrinya dari arah belakang, anaknya akan terlahir dalam keadaan mata juling. Ayat ini sebenarnya berfungsi sebagai demitologisasi seksual yang berkembang di dalam masyarakat, bukannya untuk memberikan "SIM" terhadap laki-laki untuk melakukan seks bebas terhadap isteri tanpa memperhatikan faktor enjoyment istrinya.

Hadis juga dijumpai banyak beredar di dalam masyarakat tanpa dikritisi validitas dan keshahihan­nya, baik dari segi sanad maupun matan. Di antara hadis-hadis tersebut ialah hadis dari Abi Hurairah yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim: "Apabila seorang suami mengajak istrinya ke kasur lalu ia menolak maka malaikat melaknatnya sampai subuh". (Shahih al-Bukhari, Juz 11 h. 205, Shahih al-Muslim, Juz III h. 157). Hadis lain yang sering dijadikan dalil ialah: "Jika seorang istri diajak suaminya dalam suatu hajat, maka hendaklah ia melakukannya sekalipun di atas dapur," (Sunan Turmuzi, No. 927. h.103).

Seringkali atas nama agama, perempuan di­paksa untuk melayani keinginan laki-laki. Nawal El-Sadawi, seorang dokter yang lebih dikenal se­bagai tokoh feminis Mesir, mensinyalir terjadinya penyimpangan seksual berdasarkan agama yang pada umumnya mengorbankan perempuan. Mi­tos-mitos keperawanan dan kesucian -yang han­ya berlaku pada perempuan- jelas merupakan bentuk eksploitasi tubuh perempuan atas nama Tuhan. (Margot Badran, Independent Women More Than A Century of Feminism in Egypt dalam Judith E.Tucker, Arab Women, h. 141).

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA