Kriminalisasi Konon dalam kasus pertambangan Tumpang Pitu, telah terjadi lima kali kriminalisasi terhadap 11 warga yang menolak pertambangan emas padahal pasal 66 UU 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup menyatakan bahwa setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata. Sebenarnya terdapat 11 spanduk yang dibuat warga dalam rangka aksi penolakan
Warga menyatakan bahwa ketika mengerjakan pembuatan spanduk tersebut, pihak kepolisian ikut hadir. Spanduk dengan gambar menyerupai logo palu arit yang dituduhkan kepada warga baru muncul dalam bentuk foto-foto setelah aksi unjuk rasa selesai.
FotoWarga baru mengetahui keberadaan gambar menyerupai logo palu arit setelah polisi menunjukkan foto-fotonya maka warga menyatakan bahwa foto spanduk yang dijadikan barang bukti tersebut bukan spanduk yang dibuat oleh warga yang terlibat aksi penolakan tambang emas di Tumpang Pitu. Warga hapal betul tentang jenis dan bentuk seluruh sebelas spanduk yang mereka buat bersama. Kenyataan sang spanduk dengan gambar menyerupai logo palu arit yang difoto tersebut tidak pernah terlihat karena pihak kepolisian sampai sekarang hanya menunjukkan foto tanpa ada bukti spanduk yang sebenarnya.
Selain Heri Budiawan, ada tiga warga lain yang ditetapkan sebagai tersangka, yaitu Cipto Andreas, Trimanto dan Dwi Ratna Sari. 18 kuasa hukum mendampingi keempat tersangka, yaitu Tim Kerja Advokasi Gerakan Rakyat untuk Kedaulatan Agraria (Tekad Garuda) yang terdiri dari Walhi Jawa Timur, Walhi, LBH Surabaya, Jatam For Banyuwangi dan Kontras Surabaya. Tim kuasa hukum mendesak Kejaksaan Negeri Banyuwangi membebaskan Heri Budiawan serta tiga warga Sumberagung lainnya yang ikut ditetapkan sebagai tersangka.
StigmasisasiKriminalisasi terhadap rakyat di Tumpang Pitu di Banyuwangi memang sangat memprihatinkan. Namun gerakan kriminalisasi terhadap rakyat dengan alasan menolak pembangunan tidak hanya terjadi di Banyuwangi namun juga di berbagai pelosok nusantara masa kini seperti Tulang Bawang, Kendeng, Papua dan lain-lain.
Demi melengkapi alasan kriminalisasi maka stigmasisasi sebagai kriminal, perampas tanah negara, penentang pembangunan, pemberontak bahkan komunis juga terpaksa diderita rakyat tergusur di Bukit Duri, Kalijodo, Kalibata, Pasar Ikan, Luar Batang, Sukamulya, Cigugur dan lain-lain.
Pembangunan dengan mengorbankan lingkungan alam dan rakyat. Pada hakikatnya, gerakan kriminalisasi terhadap rakyat merupakan pelanggaran HAM, Agenda Pembangunan Berkelanjutan, serta sila-sila Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/ Perwakilan, dan Keadilan Sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia.
Insya Allah, gerakan kriminalisasi terhadap rakyat segera dihentikan demi menghormati serta mematuhi pesan Presiden Jokowi bahwa pembangunan bukan demi menyengsarakan namun menyejahterakan rakyat.
[***]
Penulis Adalah Pendiri Sanggar Pembelajaran Kemanusiaan
BERITA TERKAIT: