WAWANCARA

Yusril Ihza Mahendra: Bukan Hanya Menguji Dengan UUD 1945, Tapi Lebih Pada Pertentangan Dengan Filsafat Hukum

Rabu, 06 September 2017, 08:58 WIB
Yusril Ihza Mahendra: Bukan Hanya Menguji Dengan UUD 1945, Tapi Lebih Pada Pertentangan Dengan Filsafat Hukum
Yusril Ihza Mahendra/Net
rmol news logo Kemarin, pakar hukum tata negara ini mendaftarkan gugatan uji materi terhadap Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum (Pemilu).

Pasal tersebut memuat aturan ambang batas pencalonan presi­den atau presidential threshold (PT) yang wajib dipenuhi oleh partai atau koalisi partai jika ingin mencalonkan capres di Pilpres 2019. Besaran ambang batasnya yakni 20 persen kursi DPR atau 25 persen perolehan suara nasional.

Alasan Yusril hanya menggugat pasal tentang PT saja lantaran menurut dia, aturan PT itu bertentangan dengan UUD 1945. "Yakni Pasal 6Aayat (2) junto Pasal 22E ayat (3)," imbuh­nya. Berikut penjelasan bekas Menteri Hukum dan HAM ini;

Gugatan yang Anda daft­arkan tadi sebagai pemohon perorangan, atau Partai Bulan Bintang sebagai badan hu­kum?
Yang memohon resmi Partai Bulan Bintang, bukan saya pribadi tapi partai sebagai institusi dan badan hukum. Oleh karena itu mempunyi legal standing un­tuk menguji norma pasal 222.

Memangnya apa kerugian konstitusional yang dialami partai Anda jika PT itu diterapkan?
Partai ini mempunyai hak konstitusional untuk mengajukan pasangan capres dan cawapres, karena ini parpol yang sudah dinyatakan sebagai peserta Pemilu 2019. Tapi hak konsti­tusionalnya itu dirugikan atau terhalang dengan norma pasal 222, karena itu kami meminta pasal itu dibatalkan MK.

Lantas kalau pasal PT itu dibatalkan MK, Anda mau maju sebagai capres?
Kalau pasal itu dibatalkan, se­mua parpol peserta pemilu dapat mengajukan pasangan capres dan cawapres tanpa harus terikat den­gan PT 20 persen kursi DPR dan 25 persen kursi nasional. Semua partai baik berdiri sendiri atau bergabung bisa mencalonkan capres dan cawapres. Dan ini lebih memudahkan seseorang termasuk Pak Jokowi juga.

Maksudnya memudahkan?
Kalau ada PT20 persen, nanti bukan partai yang tergantung dengan Pak Jokowi, tetapi Pak Jokowi tergantung dengan par­tai. Karena beliau berusaha akan meyakinkan partai untuk mem­peroleh 20 persen. Kalau misal­nya tiap partai bisa memajukan calon sendiri, bisa bergabung atau bisa mengajukan calon yang mereka dukung. Partai Bulan Bintang bisa mengajukan saya atau bisa gabung dengan partai lain.

PT ini kan sudah pernah diuji, dan ditolak oleh MK. Anda yakin kali ini akan dika­bulkan?
Memang sudah empat kali ditolak, tapi penolakan itu sebelum adanya putusan MK tentang pemilu serentak. Selain itu, ini bukan lagi sekadar men­guji dengan UUD 1945, tapi lebih kepada pertentangannya dengan filsafat hukum. Itu ar­gumen aspek hukumnya. Ini letak perbedaannya. Memang memerlukan waktu karena da­lam permohonan ini argumen­tasinya jadi agak panjang dan agak mendalam. Tapi mudah-mudahan bisa meyakinkan MK untuk membatalkannya.

Bisa dijelaskan soal pengu­jian dengan filsafat hukum?

Meski suatu peraturan bu­ruk, misalnya untuk ambang batas itu, tapi MK tidak bisa membatalkan sepanjang dia tak bertentangan dengan UUD 1945. Kecuali dia bertentangan dengan rasionalitas, moralitas, dan bertentangan dengan keadilan yang tak bisa ditolerir. Jadi MK sendiri sudah menguji dan menolak, tapi bisa dibatalkan dengan tiga hal tadi. Dan pasal itu kami anggap bertentangan dengan tiga hal itu.

Bertetangan bagaimana?
Pasal 222 itu sebetulnya rasionalitas. Bagaimana cara menentukan threshold? Apakah cukup rasional kalau threshold menggunakan pemilu sebelum­nya, sedangkan pemilu sebelum­nya dilaksanakan dua kali? Saya pikir tidak karena pemilu ber­langsung di hari yang sama. Jadi harusnya PT tidak diperlukan.

Selain itu...
Lalu pasal ini juga jelas ber­tentangan dengan asas keadilan, dan moralitas. Karena isi dari pasal 222 itu sarat kepentin­gan. Praktis yang bisa men­calonkan dalam pemilu yang akan datang, capres, hanya dua kemungkinan, Pak Jokowi mun­cul sebagai calon tunggal atau Pak Jokowi dan Pak Prabowo. Pertanyaannya, apakah cukup adil membuat undang-undang seperti itu? Makanya kami minta supaya pasal itu dibatalkan.

Saat disahkan di paripurna DPR beberapa waktu lalu, parpol yang tidak setuju den­gan PT banyak yang walk out. Ada rencana untuk meng­gandeng mereka untuk mem­perkuat uji materi ini?

Yang punya legal standing itu hanya dua partai, PBB dan PKPI (Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia). Partai-partai yang ada di parlemen tidak mempunyai legal standing untuk melakukan uji materi, karena mereka ikut membahas. Jangan nanti kesannya dia kalah di DPR, lalu bawa ke MK.

Kalau dengan partai yang tidak di parlemen bagaimana?
Partai baru seperti Perindo (Persatuan Indonesia), Partai Idaman, dan Partai Solidaritas Indonesia (PSI) juga tidak punya legal standing untuk menggugat pasal ini, karena mereka belum pasti jadi peserta pemilu. ***

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA