WAWANCARA

Abdul Haris Semendawai: Sesuai UU, Hanya Kami Yang Berhak Kelola Safe House

Selasa, 29 Agustus 2017, 08:42 WIB
Abdul Haris Semendawai: Sesuai UU, Hanya Kami Yang Berhak Kelola Safe House
Abdul Haris Semendawai/Net
rmol news logo Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Abdul Haris Semendawai meluruskan adanya tafsir dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban, khususnya terkait pasal penggunaan safe house alias rumah perlindungan bagi saksi dan korban.
 
 Dia mengatakan, LPSK meru­pakan satu-satunya lembaga yang diberi amanat untuk me­lindungi saksi dan korban, serta mengelola safe house. Tidak ada lembaga lain yang diberi kewenangan itu, tidak terkecuali Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Berikut penuturan leng­kapnya;

Atas dasar apa Anda menya­takan demikian?
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Undang-undang itu menyatakan bahwa dalam memberikan per­lindungan dan bantuan, LPSK dapat bekerja sama dengan in­stansi terkait yang berwenang. Kemudian kewenangan LPSK untuk mengelola safe house atau rumah aman terdapat dalam undang-undang itu.

KPK kan punya safe house ya. Itu statusnya bagaimana?

Saya kurang tahu. Tetapi Undang-Undang Nomor 31 tahun 2014 secara jelas dan tegas me­nyebut yang mengelola rumah aman itu hanya LPSK.

Artinya safe house-nya KPK ilegal?
Tidak tahu juga. Mungkin kalau yang lain menerjemahkan seperti itu, silakan ya. Kalau ada institusi lain yang mengacu undang-undang berbeda saya kan tidak tahu. Pokoknya LPSK yang diberikan mandat untuk mengelola.

Memang selama ini tidak ada kerjasama dengan KPK?

LPSK dan KPK memiliki nota kesepahaman terkait kerja sama pelaksanaan perlindungan saksi dan pelapor. Nota kesepahaman antara antara LPSK dan KPK telah diatur dalam pasal 36 Undang-Undang Nomor 13 ta­hun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Namun, MoU itu telah habis masa berlakunya pada 2015 dan hingga kini be­lum diperpanjang.

Kenapa tidak diperpanjang?
Sebelum MoU berakhir sebe­narnya sudah ada upaya dari LPSK untuk memperpanjang. Namun dalam pembahasannya ada berbagai kendala, seperti soal waktu dan sebagainya.

Berarti sejak 2015 tidak ada lagi perlindungan lewat LPSK?
Tetap ada. Koordinasi kami lebih kepada saksi atau justice collaborator kasus tindak pidana korupsi. Sepanjang tahun 2017 saja LPSK telah menerima perlindungan saksi dari KPK se­banyak 46 orang, dengan rincian sembilan juctice collaborator, 27 pelapor, dan 10 saksi perkara. Tapi ternyata banyak juga in­formasi yang kami ketahui sekarang ada beberapa juga saksi yang ternyata dilindungi sendiri oleh KPK.

Kalau yang dilindungi sendiri ini statusnya bagaimana?
Apakah institusi berwenang tentu bisa dilihat di undang-undangnya masing-masing. Tapi kami ingin perlindungan saksi dan korban dilakukan LPSK dan kalau institusi lain ingin melaku­kannya, dikoordinasikan kepada kami, bukan sepihak. Apabila ada saksi, sebaiknya dilindungi oleh LPSK karena kami lem­baga secara khusus melindungi korban.

Terkait kasus e-KTP, apak­ah KPK sudah minta bantun LPSK?

Kalau e-KTP belum ada. Justru kami yang menawarkan ke saksi. Tawaran perlindungan disampaikan kepada KPK, kar­ena LPSK mendapat informasi intimidasi terhadap saksi kasus e-KTP. Informasi itu diperoleh dari berbagai sumber, salah satunya media.

Siapa yang ditawarkan per­lindungan ini?
Saksi kasus e-KTP yang sem­pat menerima tawaran perlind­ungan adalah Bu Miryam. Tapi tawaran tersebut ditolak oleh beliau dengan alasan yang eng­gan dijabarkan.

Selain itu, LPSK juga sem­pat menawarkan perlindun­gan kepada Johannes Marliem. Sudah sempat kami komunikasi via media sosial untuk tawarkan perlindungan. Tawaran perlind­ungan bagi Johannes dilakukan atas inisiatif LPSK, karena kami menilai Johannes merupakan saksi kunci yang terancam kar­ena yang memiliki bukti penting dalam kasus e-KTP.

Tawaran perlindungan di­lakukan dua minggu sebelum Johannes meninggal. Ketika kami sudah tawarkan, dia bilang akan mempelajari dulu. Kami sudah sampaikan mau berikan perlind­ungan bahkan kirim formulir. Sampai kemudian dapat info ternyata dia meninggal dunia.

LPSK punya kriteria ter­tentu supaya sebuah tempat layak dijadikan safe house?
Ada beberapa kriteria rumah aman berdasarkan Undang-undang Nomor 31 Tahun 2014. Pertama, rumah aman tak hanya untuk keamanan fisik tapi juga psikis. Sehingga rumah aman itu paling tidak berdekatan dengan ruang publik. Misalnya rumah sakit dan Polres. Jika terjadi sesuatu bisa cepat mengakses itu. Kemudian pengadaan ru­mah aman harus memenuhi sejumlah standard yang telah ditetapkan. Di antaranya bebas dari bahaya kebakaran, memiliki beberapa ruangan, CCTV yang bisa diakses dari kantor LPSK, dan P3K.

Lalu harus ada fasilitas lain seperti kendaraan roda dua dan empat. Ada kepala rumah aman serta janitor untuk kebutuhan sehari-hari dan sopir. ***

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA