WAWANCARA

Gayus Lumbuun: MA Harus Progresif Sikapi Peradilan Yang Diwarnai Suap, Bentuk Lembaga Eksaminasi

Senin, 28 Agustus 2017, 10:03 WIB
Gayus Lumbuun: MA Harus Progresif Sikapi Peradilan Yang Diwarnai Suap, Bentuk Lembaga Eksaminasi
Gayus Lumbuun/Net
rmol news logo Hakim Agung Gayus Lumbuun mendesak pimpinan Mahkamah Agung (MA) mengambil lang­kah progresif dalam penyikapi proses peradilan yang diwarnai kasus suap. Kata dia, MA tidak boleh cuma melakukan langkah konvensional, dengan men­yarankan korban proses pera­dilan yang diwarnai suap untuk mengajukan banding. Sebab, banding hanya berlaku untuk proses peradilan yang normal, bukan yang diwarnai kasus suap dan jual beli perkara.

Desakan Gayus ini terkait den­gan kasus Panitera Penggandi Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan Tirmizi yang ditangkap KPK lantaran menerima suap sebesar Rp 425 juta dari PT Aquamarine Divindo Inspection (ADI). Suap tersebut diberikan TP ADI agar PN Jakarta Selatan menolak gugatan PT Eastern Jason yang menuntut pemba­yaran ganti rugi sebesar 7,6 juta dolar AS dan 131 ribu dolar Singapura kepada PT ADI yang dianggap melakukan wanpresta­si. Dalam pembacaan putusan pada Senin lalu, majelis hakim PN Jakarta Selatan memenang­kan PT ADI dengan menolak gu­gatan PT Eastern Jason. Berikut penuturan Gayus Lumbuun kepada Rakyat Merdeka:

Apa dasar Anda menyarank­an pembentukan lembaga ek­saminasi?
Hasil OTT (operasi tangkap tangan) KPK terbukti benar. Putusan yang diambil mejelis ha­kim PN Jakarta Selatan sesuai pe­sanan pihak yang diduga penyuap kepada panitera pengganti. MA menyatakan, korban atas peradilan yang diwarnai jual beli perkara ini untuk banding saja. Menurut saya, itu tidak adil. Banding itu hanya untuk proses peradilan yang nor­mal. Sedangkan ini tidak normal, karena sebelumnya ada pesanan. Makanya, saya meminta MA berpikir progresif. Hak korban peradilan tersebut harus dikem­balikan. Cara yang tepat adalah dilakukan eksaminasi oleh MA. Kalau dalam proses eksaminasi korban kalah, baru dipersilakan banding sampai kasasi. Yang penting hak keadilannya dikem­balikan dulu.

Apakah MA diperbolehkan membentuk lembaga eksami­nasi yang bertujuan untuk men­guji putusan lembaga peradilan yang notabenenya strukturnya berada di bawah MA juga?
Pada tahun 1967, Ketua MASoerjadi telah membuat surat edaran sekaligus instruksi ten­tang eksaminasi yang ditujukan kepada semua ketua Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Negeri. Jadi, sebenarnya dasar untuk membentuk lembaga eksami­nasi ini sudah ada. Cuma, dalam praktiknya akhir-akhir ini, tidak dilaksanakan.

Makanya, sekarang, MA harus melakukan terobosan yang pro­gresif. Dimulailah dari sekarang. Jangan terus berpikir konven­sional. MA harus mengubah paradigma dalam menyelesaikan persoalan hasil putusan yang diwarnai suap.

Seberapa mendesak pem­bentukan lembaga eksaminasi ini?
Sangat mendesak. Sebab, kasus jual beli perkara di pen­gadilan sudah sangat banyak. Kasusnya juga terus berulang. Kita tidak boleh membiarkan korban peradilan yang diwar­nai suap itu tidak mendapat keadilan.

Bukankan eksaminasi ini pernah dilakukan lembaga-lembaga lain?
Memang, beberapa organisasi pernah melakukan eksaminasi. Ada YLHBI, Muhammadiyah, dan yang lainnya. Namun, hasil­nya kan tidak memengaruhi putusan. Hasilnya hanya seba­gai data. Untuk putusan, ya itu tugasnya MA.

Kalau sudah ada lembaga eksaminasi, bagaimana cara kerjanya nanti?

Pertama-tama, MA harus membuat keputusan untuk pem­bentukan itu. Jadi, penyeleng­garannya MA. Untuk yang terlibatnya nanti, MAbisa men­gajak pihak independen, yang memiliki kompetensi di bidang hukum. Kemudian, kalau menu­juk pada surat edaran MA1967, yang melaksanakan eksaminasi itu adalah pengadilan setempat, namun dengan majelis hakim yang berbeda. Nanti hasilnya dilaporkan ke MA. Jadi, proses peradilannya diulang pada pen­gadilan yang sama.

Sebagai orang dalam, Anda melihat sikap MA dalam me­nyikapi kasus-kasus peradilan yang diwarnai suap itu ba­gaimana?
MA sering beralasan keco­longan atau itu cuma individu. Saya berharap, MA tidak kebi­asaan menggunaan alasan ini. MA harus ikut bertanggung, yaitu lewat pengawasan yang ketat terhadap para hakim dan para penitera. Sebab, ini bukan masalah individu. Ini masalah lembaga. Kalau individu, buat apa ada pimpinan.

Selain MA, pihak mana lagi yang dapat membentuk lem­baga eksaminasi ini?
Menurutnya saya, Presiden juga bisa. Saya pernah meminta Presiden untuk turut menyelesai­kan masalah banyaknya proses peradilan yang diwarnai suap.

Apa Presiden punya ke­wenangan membentuk lem­baga eksaminasi?
Dulu, Presiden SBY pernah menerbitkan Inpres (Instruksi Presiden) tentang Mafia Hukum. Presiden Jokowi juga telah mener­bitkan Perpres tentang Saber Pungli. Jadi, saya kira kalau seka­rang Presiden menerbitkan Inpres atau Perpres tentang eksaminasi, bisa-bisa saja. ***

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA