ARTIKEL JAYA SUPRANA

Batu Bara Putih

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/jaya-suprana-5'>JAYA SUPRANA</a>
OLEH: JAYA SUPRANA
  • Senin, 28 Agustus 2017, 09:14 WIB
Batu Bara Putih
Jaya Suprana/Net
APA yang disebut sebagai kolonialisme mulai hadir di sejarah peradaban umat manusia akibat sebuah komoditas perdagangan yang disebut sebagai rempah-rempah.

Secara geopolitik, pada hakikatnya rempah-rempah cukup berperan dalam mempengaruhi perdagangan di planet bumi ketimbang sutera, maka sebenarnya jalan rempah-rempah tidak kurang penting ketimbang jalan sutera.   

Menjelang akhir abad XX umat manusia menampilkan suatu bentuk peradaban baru di planet bumi yaitu peradaban teknologi informatika. Apabila bahan yang diperebutkan pada era kolonialisme adalah rempah-rempah,  maka bahan yang diperebutkan pada era teknologi informatika adalah litium.

Litium

Litium adalah logam alkali dengan warna putih perak sebagai logam paling ringan sekaligus unsur dengan densitas paling kecil. Sesuai warnanya, maka litium dijuluki sebagai batu bara putih. Seperti logam-logam alkali lainnya, litium sangat reaktif dan terkorosi dengan cepat dan menjadi hitam di udara yang lembab.  

Litium melimpah di bumi , namun akibat reaktivitas sangat tinggi maka unsur ini hanya bisa ditemukan di alam dalam keadaan bersenyawa dengan unsur lain. Litium ditemukan di beberapa mineral pegmatit, namun juga bisa didapatkan dari air asin dan lempung.

Pada skala komersial, logam litium didapatkan dengan elektrolisis dari campuran litium klorida dan kalium klorida. Litium dan senyawa-senyawanya mempunyai beberapa aplikasi komersial, meliputi keramik dan gelas tahan panas, aloi dengan rasio kekuatan berbanding berat yang tinggi untuk pesawat terbang, dan terutama baterai litium.  

Petalit ditemukan pada tahun 1800 oleh kimiawan Brasil José Bonifácio de Andrada e Silva di dalam tambang di Pulau Utö, Swedia. Kemudian nama jenis logam baru itu diberi nama "lithion" yang berasal dari kata Bahasa Yunani "lithos", yang berarti "batu.

Mobil Hijau


Sejak akhir Perang Dunia II, kebutuhan dunia industri atas litium meningkat. Logam litium dipisahkan dari unsur lain dalam batuan mineral, misalnya petalit. Garam litium diekstraksi dari air mata air mineral, kolam penampungan air garam, deposit air garam. Logam diproduksi dengan mengelektrolisis leburan campuran litium klorida dan kalium klorida.

Ada harapan luas untuk menggunakan baterai litium pada kendaraan listrik, tetapi satu studi menyimpulkan bahwa lithium karbonat secara realistis produksinya akan memadai untuk hanya sebagian kecil saja dari masa depan  kendaraan listrik dalam kebutuhan pasar yang global. Juga timbul anggapan bahwa permintaan dari sektor elektronik portabel akan menyerap lebih banyak rencana penambahan produksi pada dekade ke depan sehingga produksi massal litium karbonat tidak ramah lingkungan dituduh akan menyebabkan kerusakan ekologis pada ekosistem yang tidak dapat diperbaiki yang seharusnya dilindungi maka tidak kompatibel dengan gagasan 'Mobil Hijau'.

Mujur, pada awal tahun 2017, sang pencipta bateri litium-ion Prof. John Goodenough berhasil menciptakan bateri lithium coated glass electrolyte alias bateri gelas yang jauh lebih efektif, efisien, aman serta ramah lingkungan ketimbang bateri litium-ion yang digunakan sebagai sumber energi penggerak yang lebih ramah lingkungan maka lebih kompatibel dengan 'Mobil Hijau'. [***]

Penulis adalah pembelajar geopolitik enerji

< SEBELUMNYA

Hikmah Heboh Fufufafa

BERIKUTNYA >

Dirgahayu Indonesia

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA