Sultan Agung
Sultan Agung adalah sultan ketiga Kesultanan Mataram yang memerintah pada tahun 1613-1645. Di bawah kepemimpinan Sultan Agung, Mataram berkembang menjadi kerajaan terbesar di Nusantara pada saat itu. Pada tahun 1614 VOC yang pada saat itu masih bermarkas di Ambon mengirim duta untuk mengajak Sultan Agung bekerja sama namun ditolak mentah-mentah.
Pada tahun 1619 VOC berhasil merebut Jayakarta di bagian Barat pulau Jawa dan mengganti namanya menjadi Batavia. Markas mereka pun dipindah ke kota itu. Bulan April 1628 Kyai Rangga bupati Tegal dikirim sebagai duta ke Batavia untuk menyampaikan tawaran damai dengan syarat-syarat tertentu dari Mataram.
Tawaran tersebut ditolak pihak VOC sehingga Sultan Agung memutuskan untuk menyatakan perang. Maka, pada 27 Agustus 1628 10.000 prajurit Mataram dipimpin Tumenggung Bahureksa, bupati Kendal tiba di Batavia.
Perang besar terjadi di benteng Holandia. Pasukan Mataram mengalami kehancuran karena kurang perbekalan. Sultan Agung kembali menyerang Batavia untuk kedua kalinya pada tahun berikutnya. Pasukan pertama dipimpin Adipati Ukur berangkat pada bulan Mei 1629, sedangkan pasukan kedua dipimpin Adipati Juminah berangkat bulan Juni. Total semua 14.000 orang prajurit.
Kegagalan serangan pertama diantisipasi dengan cara mendirikan lumbung-lumbung beras di Karawang dan Cirebon. Namun pihak VOC berhasil memusnahkan semuanya. Walaupun kembali mengalami kekalahan, serangan kedua Sultan Agung berhasil membendung Sungai Ciliwung, yang mengakibatkan wabah penyakit kolera melanda Batavia.
Gubernur jenderal VOC J.P. Coen meninggal menjadi korban wabah tersebut. Atas jasa-jasanya sebagai pelopor perlawanan terhadap kaum penjajah , Sultan Agung telah ditetapkan menjadi pahlawan nasional Indonesia berdasarkan S.K. Presiden No. 106/TK/1975 tanggal 3 November 1975.
Rekam Jejak
Gelora semangat perlawanan Sultan Agung terhadap kaum penjajah dilanjutkan oleh para tokoh Islam seperti Amangkurat I, Pangeran Diponegoro, Tuanku Imam Bonjol, Teuku Umar, Tjut Nyak Dhien sampai ke Bung Tomo yang di Surabaya memimpin perlawanan terhadap tentara sekutu Belanda yang tidak sudi mengakui kemerdekaan bangsa Indonesia meski sudah diproklamirkan oleh Bung Karno dan Bung Hatta pada tanggal 17 Agustus 1945.
Dapat dimengerti bahwa rekam jejak perlawanan umat Islam terhadap kaum penjajah menumbuhkan kebencian kaum penjajah terhadap umat Islam. Namun sungguh layak disayangkan apabila kini setelah 72 tahun Indonesia dimerdekakan dari belenggu penjajahan, kebencian kaum penjajah terhadap Islam secara tidak sadar diwarisi oleh segelintir warga bangsa Indonesia.
Seharusnya setelah berhasil mengusir kaum penjajah sebagai musuh bangsa Indonesia, di masa kini jangan ada warga bangsa Indonesia memusuhi sesama warga bangsa Indonesia sendiri.
[***]
Penulis adalah pembelajar sejarah perlawanan bangsa Indonesia terhadap penjajahan
BERITA TERKAIT: