Kemarin, Kantor Wilayah Ditjen Pajak Jakarta Selatan I menjebloskan DHR ke Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Cipinang, Jakarta Timur.
"Penyerahan tersangka dan barang bukti dilakukan setelah berkas dinyatakan P21 (lengÂkap—red) dan siap disidangÂkan," kata Kepala Kanwil Akli Anggoro di kantor pusat Ditjen Pajak Jalan Gatot Subroto, Jakarta Selatan.
Sebelumnya, DHR ditetapkan sebagai tersangka pelanggaran Pasal 39 ayat (1) huruf b, Pasal 39 ayat (1) huruf c junto Pasal 43 ayat (1) UU Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebaÂgaimana telah diubah dengan UU Nomor 16 Tahun 2000, junto Pasal 64 Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP).
Pelanggaran yang dilakukan DHR adalah tidak menyampaiÂkan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan. Ia justru menyamÂpaikan SPT Tahunan dengan keterangan yang tidak benar untuk periode Juni 2007 sampai Desember 2008.
Akibat manipulasi SPT itu, DHR bisa menghindari pajak. Namun akal bulus ini terendus. DHR dianggap mempunyai tunggakan pajak yang merugikannegara sebesar Rp 6,3 miliar.
Kepala Bidang Pemeriksaan, Penyidikan Intelijen, dan Penagihan Kanwil Jaksel I, Marolop Simorangkir sudah mengimbau agar DHR mengikuti program pengampunan pajak (
tax amnesty). Namun tak diindahkan.
Kanwil Jakarta Selatan I akhirnya menerbitkan Surat Pemberitahuan (SP) atas tunggakan pajak yang harus diselesaikan. Sayangnya, tak pula dihiraukan.
"Saat tax amnesty, kami beriÂkan kesempatan untuk mendapat pengampunan tapi setelah itu kami lakukan penegakan hukum bagi yang belum melakukan. Itu mau tidak mau, suka tidak suka, itu kami intensifkan (penyidiÂkan)," jelas Marolop.
Bersamaan dengan penyerahan tersangka DHR ke tahap penuntutan, Kanwil Jakarta Selatan I melakukan gelar perkaraunÂtuk melakukan sandera badan (gijzeling) terhadap beberapa pengemplang pajak. Hal ini dilakukan untuk memastikan bahwa langkah yang dilakukan telah sesuai untuk penegakan hukum.
Diharapkan dengan dikenaÂkan sandera badan, wajib pajak atau penanggung pajak jera dan segera melunasi kewajiban pajaknya.
"Kami terus berupaya melakuÂkan pelayanan, pengawasan, dan penegakan hukum bersama penegak hukum lain, seperti keÂpolisian, kejaksaan, dan Komisi Pemberantas Korupsi (KPK)," kata Sakli.
Ditjen Pajak menargetkan dapat melakukan sandera baÂdan terhadap 66 wajib pajak nakal sampai akhir tahun ini, yang tidak mengikuti program pengampunan pajak (
tax amÂnesty) dan menunggak pajak.
"Standar minimum (gijzeling) dari DJP itu per Kantor Pelayanan Pajak (KPP) minimal dua wajib pajak nakal. Kalau DJP seÂcara keseluruhan mungkin miniÂmal 66 wajib pajak nakal, karena ada 33 KPP," kata Sakli.
Ditjen Pajak menargetkan penerimaan pajak dari upaya ekstra (
extra effort) berupa pemeriksaan, penyelidikan, dan pengawasan pada tahun ini sebesar Rp 59,5 triliun.
Sampai semester pertama 2017, jumlah penerimaan dari extra effort yang telah masuk kantong penerimaan pajak menÂcapai Rp 28 triliun. Atau, telah mencapai 47,05 persen dari target.
Menurut Marolop, target gijÂzeling dari kantor pusat Ditjen Pajak bisa dilampauinya. "Kalau DJP per KPP minimal dua wajib pajak tapi Kanwil Jaksel itu tidak mau minimal. Kanwil kami sudah tetapkan jauh dari minimal, kami targetkan delaÂpan wajib pajak nakal, target minimalnya empat wajib pajak," sebutnya.
Namun, Marolop menegasÂkan, gijzeling hanya dilakukan bagi wajib pajak yang benar-benar tidak mengikuti tax amÂnesty dan terbukti melakukan pelanggaran.
"Kalau tax amnesty memang sudah dilakukan, sudah patuh, ya sudah. Kasihan mereka, kan kami sudah janji untuk tidak periksa usai tax amnesty bagi yang sudah mengikuti," tandas Marolop.
Terhadap wajib pajak yang telah mengikuti tax amnesty, Kanwil Jakarta Selatan I tetap berupaya meningkatkan keÂpatuhan dalam pengisian SPT Tahunan. "Tax amnesty itu kan SPT 2016 jadi kami lakukan di SPT 2017 untuk diberi konÂsultasi dan pembinaan untuk perbaiki," kata Marolop.
Sejauh ini, di Kanwil Jakarta Selatan I tingkat kepatuhan wajib pajak badan mencapai 66,46 persen. Sedangkan wajib pajak pribadi 68,47 persen. Ditotal, rata-rata tingkat kepatuÂhan 68,28 persen.
Dari capaian itu, Kanwil Jakarta Selatan optimistis tingkat kepatuhan sampai akhir tahun 2017 bisa tercapai target.
Kilas Balik
Tidak Setor Pajak Pertambahan Nilai Rp 10,7 Miliar, Bos PT HMS Ditahan
Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak (Kanwil DJP) Jakarta Utara menyerahkan CPT, tersangka pengemplang pajak Rp 10,7 miliar ke Kejaksaan Tinggi DKI.
CPT merupakan Direktur PT HMS yang berlokasi di Kelapa Gading, Jakarta Utara. Kepala Seksi Penerangan Umum (Kasipenkum) Kejati DKI Jakarta Waluyo menerangkan, penyidikan kasus manipulasi pajak ini dilakukan Kanwil DJP Jakarta Utara.
"Kita menindaklanjuti dengan membuatkan tuntutan perkara pidananya," katanya.
Saat dilimpahkan petugas Kanwil DJP Jakarta Utara ke kejaksaan, tersangka mengenakan kemeja putih lengan panjang bermotif garis-garis. Tersangka juga tak memberikan pernyataan apapun kala digiring ke ruangan Pidana Khusus (Pidsus) Kejati DKI. "Petugas Kanwil DJP dan tersangka datang pukul 10," sebut Waluyo.
Proses pelimpahan berkas perkara, barang bukti, dan terÂsangka pun tak berlangsung laÂma. Menjelang tengah hari, CPT sudah resmi di bawah pengawasan Kejati DKI. "Kejaksaan langsung menetapkan penahanan CPT di Rutan Kejaksaan Cabang Salemba," ucapnya.
Dia menambahkan, untuk kepentingan percepatan proses penyusunan memori dakwaan, Kejati DKI langsung berkoorÂdinasi dengan Kejaksaan Negeri Jakarta Utara. "Berkas perkaraÂnya sudah lengkap. Jadi tinggal penuntutan saja. Ditangani Kejari Jakarta Utara," kata Waluyo.
Dalam berkas perkara disebutÂkan, PT HMS merupakan wajib pajak yang sejak Agustus 1993 tercatat di wilayah administrasi Kanwil DJP Jakarta Utara.
Modus operandi yang dilakuÂkan tersangka yakni melakukan penyerahan barang kena pajak tetapi tidak menyetor dan melaporkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang telah dipungut.
Tersangka juga diduga tidak meÂnyampaikan Surat Pemberitahuan Pajak Tahunan (SPPT) atas pajak penghasilan perusahaannya sebaÂgaimana mestinya. Akibat tindaÂkan tersangka negara mengalami kerugian Rp 10,7 miliar.
Waluyo menyebutkan, pada pemeriksaan bukti permulaan pada 2013 lalu, pemeriksa pajak telah memberikan kesempatan kepada tersangka untuk memperÂbaiki kesalahannya. "Berdasarkan pasal 8 ayat 3 Undang-Undang nomor 6 tahun 1983, wajib pajak berhak untuk menyelesaikan persoalannya," tuturnya.
Namun kesempatan yang diberikan tak diindahkan terÂsangka. Kasus ini pun naik ke penyidikan pada 2014. Penyidik masih memberi kesempatan keÂpada tersangka untuk melunasi seluruh utang pajak perusahaanÂnya. Lagi-lagi, kesempatan ini tak dihiraukan tersangka.
"Dua kesempatan yang diberiÂkan oleh penyidik pajak sama sekali tak dipatuhi tersangka," kata Waluyo.
Penyidik pun menyerahkan kasus tindak pidana perpajakan ini ke penuntutan. Waluyo mengatakan, tersangka CPTdijerat melanggar Pasal 39 ayat 1 huruf a dan b Undang-Undang nomor 6 tahun 1983, dengan ancaman hukuman penjara maksimal enam tahun dan denda paling banyak empat kali jumlah pajak terutang.
Waluyo berharap, kasus ini bisa menjadi pelajaran bagi waÂjib pajak lain. "Ini menjadi perÂingatan bagi wajib pajak bandel agar secepatnya membereskan kewajibannya. Kejaksaan, keÂpolisian dan Ditjen Pajak sudah komitmen untuk memproses dan menindak secara hukum setiap bentuk penyelewengan pajak," tandasnya. ***
BERITA TERKAIT: