WAWANCARA

Amzulian Rifai: Maladministrasi Pelanggaran Hukum, Rentan Dan Berpotensi Terjadi Korupsi

Rabu, 07 Juni 2017, 10:31 WIB
Amzulian Rifai: Maladministrasi Pelanggaran Hukum, Rentan Dan Berpotensi Terjadi Korupsi
Amzulian Rifai/Net
rmol news logo Amzulian menilai rangkap jabatan menjadi komisaris pe­rusahaan semestinya tidak lagi diterapkan penyelengga­ra pelayanan publik. Selain karena peraturan perundan­gan-undangan yang sudah mengatur rangkap jabatan, hal tersebut dapat mengarah ke maladministrasi bahkan ke korupsi. Berikut penuturan lengkapnya;

Apa saja yang Ombudsman ketahui tentang rangkap ja­batan ini?

Pertama, Ombudsman kon­sennya tentang pelayanan pub­lik. Kedua soal maladministrasi. Kalau kita perhatikan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 secara tegas dinyatakan bahwa pelaksana pelayanan publik itu tidak boleh rangkap jabatan termasuk di dalamnya soal komisaris. Tentu kalau kita bi­cara mal administrasi peraturan perundang-undangan lain juga banyak yang menyatakan itu. Nah kalau saat ini kita mem­bicarakan bagaimana jika yang rangkap jabatan berstatus PNS, konsen kita adalah begitu ban­yak hampir 50 persen komisaris itu dirangkap oleh penyeleng­gara pelayanan publik. Itu belum dihitung sampai di daerah. Tadi ada di satu daerah, 50 persen komisaris atau dewan pengawas itu diisi oleh pejabat-pejabat daerah, mulai dari Sekda sampai kepala dinas. Ini yang perlu kita ubah.

Apa sih dampaknya kalau penyelenggara pelayanan pub­lik merangkap jabatan?
Tentu saja ada implikasin­ya kalau itu rangkap jabatan. Disebutkan kalau di situ ada konflik kepentingan, bukan hanya itu, intervensi yang kita haramkan sekarang. Kalau dulu intervensi dilakukan secara keras, mungkin sekarang inter­vensi itu bisa dilakukan oleh orang yang rangkap jabatan dari kementerian, itu salah satu contoh. Kalau maladministrasi itu rentan juga kepada korupsi. Oleh karena itu, Ombudsman meyakini kalau bagus pence­gahannya maka akan sendi­rinya korupsi itu akan berkurang dengan signifikan. Sebaliknya kalau maladministrasi tidak kita patuhi, karena kalau di dalam undang-undang Ombudsman, maladministrasi itu termasuk pe­langgaran hukum, penyalahgu­naan wewenang, menggunakan wewenang tidak pada seharus­nya. Kalau dia maladministrasi, berarti dia korupsi.

Manurut Anda kalau malad­ministrasi berarti terindikasi korupsi, apa tolak ukurnya?
Pola pikirnya, kalau pelayan­an publik tidak baik maka state­mentnya tingkat korupsinya tinggi. Laporan kepada ombuds­man terkait maladministrasi adalah penundaan pelayanan. Sedangkan untuk pungutan liar hanya tujuh persen dari total 9.030 di tahun 2016. Kalau kita analisis lebih lanjut kenapa ada pelayanan berlarut, nah di situ akan ada pemberian. Diyakini negara yang sudah mempunyai Ombudsman lebih dulu su­dah diatasi, maka pemerintah sekarang dengan memberikan pelayanan untuk meningkatkan itu pelayanan publik.

Karena rangkap jabatan ini mengarah ke korupsi, apakah Ombudsman sudah berkoor­dinasi dengan KPK?

KPK berterima kasih dengan data Ombudsman ini. Tapi kan Ombudsman tidak bisa untuk menindak. Tapi data awal ini akan berguna, kami akan mem­bahas lebih lanjut. KPK dan Ombudsman komit. Kita ada hubungan yang baik ke KPK.

Apakah Ombudsman sudah melakukan kajian terhadap dugaan rangkap jabatan ber­indikasi mengarah ke tinda­kan korupsi?
Belum. Ombudsman ini kan tugas pokoknya menerima lapo­ran masyarakat ya. Namun de­mikian, jangan sampai kita men­jadi lembaga riset. Tentu kami juga ada yang melakukan kajian untuk topik-topik yang menarik. Artinya begini, kalau anda men­erima sumber pendapatan kalau lembaga pemerintah sumbernya APBN, nah bagaimana kalau gaji anda berasal dari beberapa tempat, enak dong bisa seperti itu. Mungkin di negara tidak ter­jadi. Dari aspek itu saja, lembaga yang menangani anti-korupsi itu sudah bisa masuk.

Lantas apa yang dilakukan untuk mencegah rangkal ja­batan agar tidak terjadi mal­adminitrasi yang mengarah ke korupsi?
Menurut saya tentu yang ber­wenang Kementerian BUMN ji­ka kita bicara BUMN, kemudian Menpan RB kalau bicara ASN, karena pada Undang-Undang ASN diatur secara tegas tentang larangan rangkap jabatan itu. Artinya bukan tidak boleh, kalau misalnya PNS punya komitmen ingin jadi komisaris atau rang­kap jabatan yang lain, dia mesti berhenti sementara dari status PNS selama dia menjalankan ja­batan rangkap itu. Memang ada alternatif, misalnya tidak boleh double income bahkan ada yang triple income. Karena ada yang menjadi komisaris tidak hanya di satu tempat, namun beberapa tem­pat. Saya usulkan duduk bersama para institusi-institusi yang punya kewenagan kepada pejabat pub­lik supaya ada solusi. Misalnya bagaimana keinginan itu tetap berjalan, BUMN kita ini semakin maju, lebih sehat, dapat bersaing dengan negara lain. ***

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA