Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Salat Taraweh Itu Standar Pola Hidup Ideal

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/muhammad-sulton-fatoni-5'>MUHAMMAD SULTON FATONI</a>
OLEH: MUHAMMAD SULTON FATONI
  • Sabtu, 03 Juni 2017, 07:06 WIB
<i>Salat Taraweh Itu Standar Pola Hidup Ideal</i>
SEORANG teman saya beragama Budhha sangat taat, bertutur bahwa dirinya sembahyang maksimal dua kali dalam sehari. Sedangkan umat Islam berkewajiban sembahyang lima kali sehari.

Jika dibandingkan volume sembahyang, tentu kualitas ketaatan dan kedekatan dirinya dengan Tuhan tidak ada apa-apanya dibanding saya.

Mendengarkan penuturannya, saya tercenung, benarkah spiritualitas dan religiusitas diri saya lebih berkualitas dibanding teman saya ini? Ah, saya tak mampu menilai kualitas keimanan dan ketakwaan diri saya apalagi menilai kualitas spiritual dan religiusitas orang lain meskipun ia berbeda agama.

Jika kita menelisik landasan terbangunnya salat sunnah taraweh, maka kita dapat menemukan bahwa salat itu terkonstruk di atas teks al-Quran dan al-Hadits. Al-Quran berbicara tentang substansi salat, sedangkan al-Hadits di samping berbicara tentang substansi salat juga teknisnya. Allah lebih menekankan hakikat salat dan Rasulullah melengkapinya dengan praktik bagaimana salat itu harus dilakukan.
Artinya, salat taraweh itu mempunyai dua dimensi; materi dan imateri.

Pada dimensi materi, para ulama memberikan definisi salat dengan "suatu gugusan gerak (af'al) dan beberapa rangkaian kata (aqwal) yang dimulai dengan takbirah al-ihram dan diakhiri dengan al-salam." Redaksi di atas adalah gambaran atas salat secara syar'i yang bersifat fisik dan kasat mata, sebagaimana sabda Rasulullah, "Shallu kama ra'aitumuni ushalli," (salatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku salat). Maka implikasinyapun lebih bersifat materi, yaitu seseorang yang salat taraweh secara syar'i mendapatkan kesunnahan salat. Jika tidak salat taraweh, ia kehilangan kesunnahan ibadah di bulan Ramadhan.

Di samping salat dalam perspektif syar'i yang bersifat materi, al-Quran juga memberikan pemahaman dalam perspektif lain yang bersifat imateri. Allah berfirman, "dirikanlah salat, sesungguhnya salat itu dapat mencegah perbuatan keji dan munkar." Ayat di atas memberikan dua pengertian; mencegah selama melaksanakan salat, dan mencegah selama melaksanakan salat dan pasca salat.

Dalam dunia sufi, pemahaman atas salat tidak sebatas pada proses ketika salat itu berlangsung sebagaimana rumusan di atas. Lebih dari itu, mereka memahami salat hingga pada proses yang berlangsung pasca salat. Karena itu di samping memperhatikan prosesi salat itu sendiri, para sufi juga memberi perhatian pada implikasi pasca salat.

Bagaimana salat taraweh kita agar bisa mempunyai kekuatan hingga mampu mencegah para mushalli (pelakunya) dari melakukan tindakan yang tercela (fakhsya' wa al-munkar)?

Ritual salat taraweh memang tampak sederhana dan mudah. Tetapi jika kita juga memperhatikan janji Allah bahwa salat itu dapat mencegah perbuatan fakhsya' dan munkar maka kesederhanaan salat taraweh itu niscaya sirna. Maka kita harus sadar bahwa di balik kesederhanaan formula salat taraweh terkandung tahapan-tahapan yang harus dipenuhi.

Pertama, sebelum melaksanakan salat, seorang mushalli harus mengetahui syarat dan rukun salat. Kedua, seorang mushalli juga perlu mengetahui dan melaksanakan sunnah-sunnah salat taraweh. Artinya, dalam salat taraweh yang sunnah itu ada kesunnahan salat taraweh. Hal ini untuk menegaskan bahwa mushalli secara serius dan total akan memasuki sebuah ritual yang penting. Ketiga, seorang mushalli juga perlu mengetahui etika salat, yaitu berorientasi kepada penataan hati (qalb) dan nalar (tafakkur).

Seseorang yang hanya sebatas mengetahui dan mengamalkan syarat dan rukun salat maka ia hanya mendapatkan salat sebagai sebuah  beban. Pola salat seperti ini hanya menyisakan kelelahan, keberatan bahkan ketersiksaan. Implikasinya adalah salat taraweh sebatas menjadi ritual keagamaan yang kering. Pada tataran ini ia hanya melaksanakan salat taraweh untuk mendapatkan kesunnahan.
Idealnya seseorang melaksanakan salat taraweh dengan mengindahkan sunnah-sunnah salat taraweh sekaligus etikanya. Relasinya adalah bahwa seseorang dapat dikatakan telah salat dengan baik dan benar apabila ia telah memenuhi syarat dan rukun salat. Sedangkan seseorang dapat dikatakan telah sempurna salat tarawehnya apabila ia telah mampu mengerjakan sunnah-sunnah salat. Puncaknya, mushalli akan menemukan kekhusyu'an  dan ke-asiq-an salat taraweh apabila ia mampu memenuhi etika salat. Kondisi puncak ini memberikan implikasi pasca salat taraweh di mana nafsu keduniaan tidak lagi menarik, termasuk godaan untuk berperilaku fakhsya' dan munkar.

Seorang sufi mengilustrasikan kondisi salat khusyu' dalam sebuah dialog singkat dengan temannya,
"Anda kemarin melintas kencang di depanku dengan mengendarai mobil mewah, hendak kemana?" Tanya sang sufi.
"Oh ya? Maaf, saya tidak melihat Anda sama sekali." Jawab supir itu merasa menyesal.
"Anda tidak salah, justru konsentrasi seperti itulah yang benar. Dan alangkah baiknya jika Anda mengalaminya juga pada saat salat." Jawab sang Sufi.

Implikasi hirarkhis dari penyepelean persoalan di atas adalah; seseorang yang tidak mengindahkan etika salat maka ia berpotensi untuk tidak melaksanakan sunnah sunnah salat. Selanjutnya, seseorang yang meremehkan sunnah-sunnah salat maka ia berpotensi mengacuhkan syarat dan rukun salat. Puncaknya, seseorang yang tidak menghiraukan syarat dan rukun salat maka ia berpeluang meninggalkan salat (tarikusshalah).

Dari paparan sederhana di atas dapat dipahami bahwa hakikat salat taraweh itu  menata kehidupan manusia untuk lebih baik dan bertanggung jawab. Jika tidak tentu salat taraweh kita masih bermasalah. Selamat Berpuasa.

Penulis adalah Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU)

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA