Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Menakar Kualitas Keseharian Ramadhan Kita

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/muhammad-sulton-fatoni-5'>MUHAMMAD SULTON FATONI</a>
OLEH: MUHAMMAD SULTON FATONI
  • Minggu, 03 Juni 2018, 12:05 WIB
Menakar Kualitas Keseharian Ramadhan Kita
Muhammad Suton Fatoni/Dok
RAMADHAN kembali datang. Padahal masih jelas diingat suasana Ramadhan tahun lalu dimana Pemerintah sibuk melakukan ru’yatul hilal bil fi’li lalu menetapkannya.

Begitu juga masih jelas terngiang celoteh Sule, Andre, Mang Saswi di stasiun televisi. Marak siaran dakwah keislaman, promo sirup, biskuit, sarung, baju koko, termasuk suasana masjid yang makin hari makin menyusut jamaahnya.

Hari demi hari Ramadhan telah terlewati. Ia terus berputar. Ramadhan memang wujud dari rotasi bulan pada porosnya. Satu kali rotasi itu butuh waktu 29 hari lebih beberapa jam. Gerakan rotasi yang menimbulkan revolusi bulan.

Pada saat bulan berevolusi, permukaan bulan dari bumi tampak beda-beda karena cahaya matahari. Meski bulan tampak berbeda-beda, waktu revolusinya tetap, 29,5 hari. Tata surya tidak ada yang berubah. Semuanya tetap stabil. Nah, Ramadhan ini tetap saja seperti dulu. Ia datang tepat waktu karena rotasinya yang stabil. Revolusinya yang kontinyu. Lalu bagaimana dengan dinamika umat Islam?

Manusia pun perlu berevolusi, bergerak secara kontinyu. Saat bergerak pasti ada dinamika sebagaimana perubahan demi perubahan pada wajah bulan di setiap hari saat kita lihat dari permukaan bumi. Lalu adakah perubahan, dinamika yang kita lalui itu sudah melahirkan sesuatu yang baik dan lebih baik lagi dari waktu ke waktu?

Mestinya lebih baik karena kita manusia, bukan makhluk lain yang posisinya sebagai fasilitas kita. Rasulullah pernah bersabda bahwa kehidupan keseharian seseorang yang stagnan itu merugikan (maghbun), sedangkan jika lebih memburuk berarti ia sedang terlaknat (mal’un).

Keriuhan bulan Ramadhan itu keramaian proses perbaikan diri. Ramadhan bisa kita jadikan etalase kualitas perubahan diri. Kehadiran Ramadhan yang tak mengenal kompromi memang telah merubah wajah keseharian manusia.

Seseorang yang terbiasa minum bir menjadi membatasi dirinya saat Ramadhan tiba. Seseorang yang biasa korupsi menghentikan perilakunya di bulan Ramadan. Seseorang yang terbiasa berbuat kezaliman menjadi baik di bulan Ramadhan. Seseorang yang biasanya pelit menjadi dermawan di bulan Ramadhan. Inilah kekuatan Ramadhan di tengah kehidupan manusia.

Pasca Ramadhan seyogyanya umat Islam tidak tergolong masuk dalam kategori orang-orang yang merugi. Jika sebelum Ramadhan terbiasa berbohong upayakan pasca Ramadan tidak lagi berbohong.

Jika belum bisa menjadi pribadi yang jujur, kurangilah tensi berbohongnya. Melatih diri dan memaksa diri untuk berubah menjadi lebih baik itu langkah yang tepat agar kondisi diri tidak tergolong orang-orang yang merugi.

Setelah bulan Ramadhan idealnya seorang muslim tidak menjadi pribadi yang terlaknat, yaitu orang-orang yang kehidupan keseharian lebih buruk dibanding sebelum bulan Ramadhan. Misalnya, jika sebelum Ramadhan terkadang melakukan korupsi, setelah Ramadhan justeru selalu terobsesi untuk korupsi. Jika sebelum Ramadhan terkadang bersedekah, pasca Ramadan justeru makin pelit dan kikir.

Pelatihan spiritual di bulan Ramadhan hendaknya menjadikannya sebagai orang yang lebih baik. Sebab esensi ibadah di bulan Ramadhan itu adalah perubahan diri lebih baik paska Ramadhan. Saat salat itu mencegah perilaku seseorang untuk berbuat  keji dan kerusakan maka berlaku juga bahwa esensi bulan Ramadhan adalah pasca bulan Ramadhan: sejauh mana umat Islam berubah menjadi pribadi yang lebih baik. [***]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA