Sementara nyaris tidak ada yang heboh ketika Permadi SH atau Arswendo Atmowiloto masuk penjara akibat dakwaan penistaan agama ternyata banyak pihak bukan hanya di Indonesia namun juga di mancanegara sampai parlemen Belanda bahkan PBB mendadak menghebohkan Basuki Tjahaja Purnama masuk rumah tahanan bahkan menuntut hukum anti penistaan agama dihapus dari Indonesia.
Menurut Pew Reseach Centre pada tahun 2014 sekitar 26 persen negara di dunia memiliki hukum anti penistaan agama, Dewan HAM Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menganggap penerapan hukum atas penistaan agama melanggar kewajiban negara menjamin hak sipil dan politik warga.
Majelis Parlemen Dewan Eropa juga telah merekomendasikan agar seluruh negara menghapus/mencabut undang-undang yang dianggap menghalangi kebebasan berekspresi.
Anggapan bahwa hanya negara Islam yang menerapkan hukum anti penistaan agama dibantah oleh fakta bahwa Irlandia, Denmark, Rusia dan Italia menerapkan hukum anti penistaan agama.
Ketika masih mencari nafkah sebagai kartunis di Jerman tahun 70-an abad XX, semua kartun saya senantiasa lolos sensor redaksi koran Jerman kecuali kartun yang dianggap sebagai penistaan agama. Namun layak ditengarai bahwa di awal abad XXI memang terjadi suatu perubahan peradaban yang tidak menghendaki penistaan agama diatur secara hukum.
Saya teringat pada ajaran mahaguru sosiologi hukum saya, Prof Satjipto Rahardjo bahwa apa yang disebut sebagai hukum memang selalu tertinggal oleh kenyataan. Mungkin hukum anti penistaan agama sudah tertinggal oleh kenyataan maka perlu ditinjau kembali demi lebih disesuaikan dengan perubahan kenyataan.
Pada hakikatnya adalah wewenang para beliau yang berwenang menyusun hukum untuk mempertimbangkan perlu-tidaknya hukum anti penistaan agama ditinjau ulang.
Selama menyampaikan saran masih secara konstitusional belum dilarang, maka saya memberanikan diri untuk menyampaikan saran agar segenap pihak selalu ingat bahwa Indonesia adalah negara hukum maka perubahan hukum adalah hukumnya wajib ditempuh melalui proses konstitusional.
Di samping itu juga perlu disadari bahwa sejak Orde Reformasi menggantikan Orde Baru di persada Nusantara memang demokrasi hadir di persada Nusantara yang sejak 17 Agustus 1945 menjadi Indonesia.
Terkait polemik penistaan agama yang senantiasa dikaitkan dengan hak asasi manusia berpendapat dan mengungkap pendapat maka sangat perlu pula disadari bahwa demokrasi memang memberikan hak mengungkap pendapat tetapi demokrasi TIDAK memberikan hak mengungkap penistaan.
Hak berekspresi sama sekali bukan hak berekspresi penistaan, penghinaan, penghujatan, pemfitnahan atau ekspresi negatif destruktif apa pun.
Mohon jangan samakan "penistaan" dengan "pendapat" agar jangan sampai nanti perjuangan membasmi hukum anti penistaan agama membuahkan hasil yang menghadirkan hukum baru yang berhasil menggugurkan hukum anti penistaan agama namun kemudian malah melahirkan hukum yang membenarkan penistaan oleh manusia terhadap manusia.
Apabila sampai hukum yang membenarkan penistaan manusia terhadap sesama manusia hadir di persada Nusantara maka terpaksa sebelum ajal saya harus menangis bersama Ibu Pertiwi akibat sampai akhir hayat dikandung badan harus menyaksikan bagaimana sesama warga Indonesia bebas merdeka leluasa mengumbar angkara murka menista, menghina, menghujat, memfitnah sesama warga Indonesia.
[***]Penulis adalah warga Indonesia pembelajar hukum dan keadilan