Namun saya masih ingat bahwa saya kerap berdiskusi soal filsafat dengan mahasiswa ilmu filsafat asal Jordania yang berawasan pandang luas itu. Dan saya masih ingat bahwa teman saya dari Jordania yang Muslim itu selalu memanggil saya "Herr Kafir" ( Herr dalam bahasa Jerman bermakna "Tuan") sebab dia kesulitan mengingat nama saya seperti saya juga kesulitan mengingat nama dia.
Pada waktu itu sama sekali tidak ada masalah antara saya yang Nasrani dengan teman yang Muslim akibat dia menyebut saya "Herr Kafir " sebab sebutan Kafir bagi teman saya itu bukan sebutan penghinaan tetapi sekadar sebutan identitas bagi orang yang bukan Muslim. Teman saya sama sekali tidak memiliki niatan menghina saya dalam menyebut saya sebagai "Herr Kafir" sebab menurut dia pada kenyataan dalam bahasa Arab, saya memang tergolong ke dalam kategori "Kafir".
Sementara bagi saya sebutan “Kafir “ tidak terasa sebagai penghinaan sebab saya sadar bahwa dalam bahasa Arab memang saya layak disebut sebagai "Kafir".
Setelah kembali ke Indonesia, saya berterima kasih kepada SBY sebagai presiden Indonesia sempat menandatangani surat Keputusan Presiden yang secara khusus mengganti sebutan Cina menjadi Tionghoa. Terus terang saya sudah terlanjur terbiasa dengan sebutan Cina sehingga merasa kesulitan ketika harus membiasakan diri saya untuk disebut sebagai Tionghoa.
Sepanjang perjalanan hidup saya tidak pernah merasa tersinggung disebut sebagai warga keturunan Cina . Di mancanegara saya juga tidak tersinggung apabila disebut sebagai "Chinese" sebab mata sipit saya memang bikin saya terkesan Chinese meski sebenarnya saya merasa diri saya adalah Indonesia .Namun apa boleh buat di mancanegara sementara ini China memang relatif lebih dikenal ketimbang Indonesia maka saya lebih kerap disebut "Chinese" ketimbang "Indonesian".
Tentu saja semua yang terungkap di dalam naskah yang dimuat RMOL ini sekadar merupakan pendapat saya pribadi yang belum tentu sama dengan pendapat orang lain. Di alam demokrasi yang makin mantap hadir di Indonesia, saya memang sadar bahwa saya memiliki hak untuk memiliki pendapat namun saya juga sadar bahwa saya tidak berhak memaksakan pendapat saya ke orang lain.
Sebaliknya: orang lain juga tidak berhak memaksakan pendapat dirinya kepada diri saya. Demokrasi memang memberikan hak bagi setiap insan manusia untuk memiliki dan mengungkap pendapat . Namun di samping memberikan hak sebenarnya demokrasi juga memberikan kewajiban saling menghargai dan menghormati dalam saling beda pendapat.
Maka marilah kita bersama menempuh perjalanan hidup di persada Nusantara nan indah permai ini sambil saling beda pendapat tanpa saling membenci maka tidak saling menghujat, menghina apalagi memfitnah demi memecah belah bangsa sendiri.
Marilah kita bersama menempuh perjalanan hidup di persada Nusantara tercinta ini sambil berdendang lagu Indonesia Pusaka : Indonesia Tanah Air Beta, Pusaka Abadi Nan Jaya, Indonesia Sejak Dahulu Kala, Selalu Dipuja Puja Bangsa, Di Sana Tempat Lahir Beta, Dibuai Dibesarkan Bunda, Tempat Belindung Di Hari Tua, Tempat Akhir Menutup Mata
Penulis adalah warga Indonesia yang cinta Indonesia
BERITA TERKAIT: