Kini, menurut Mahfud, pelakÂsanaan program diet hukum suÂdah tak bisa ditawar-tawar lagi, agar negara ini bisa memberikan kepastian hukum di segala sektor kehidupan. Berikut penuturan lengkap Mahfud MD;
Sebenarnya seberapa pentÂing sih program diet hukum itu dijalankan oleh pemerinÂtah saat ini?Iya sudah perlu dilakukan karena sudah banyak regulasi yang tumpang tindih.
Maksudnya tumpang tindih...
Reformasi yang tumpang tindih ke atas ke bawah, ke samping kanan dan kiri. Artinya sesama peraturan yang sejajar bertentangan, yang atas bawah juga bertentangan.
Tapi kondisi seperti itu tetap masih bisa kita benahi kan?Itu agak sulit dibenahi kalau peraturan atas bawah. Karena satu peraturan itu hanya bisa diubah dengan satu peraturan itu juga. Reformasi regulasi itu berpikir, bahwa peraturan terkait dengan peraturan terkait, misalnya lima peraturan bisa diubah dengan satu peraturan. Namun kalau satu peraturan itu tidak akan ketemu terus. Itu yang sejajar.
Misalnya seperti apa...Ya kayak Undang-Undang Perpajakan bertentangan dengan Undang-Undang Bea Cukai, Undang-Undang Agraria, itu prosedurnya. Selama ini kalau mengubah undang-undang hanÂya satu saja, perpajakan diubah, nah kalau yang lain tidak diubah kan jadi susah. Harus satu-satu undang-undang sendiri. Untuk itu kita mencoba menawarkan formula yaitu reformasi reguÂlasi.
Sejauh ini sektor mana saja yang sudah mengalami obesiÂtas hukum?Hampir semua sektor. Seperti begini, Presiden marah denÂgan situasi
dwelling time atau bongkar muat barang, kenapa sampai seminggu itu, kan ini bisa disederhanakan menjadi dua hari atau tiga hari agar segera. Dia bikin itu, setelah instruksi setelah melihat itu, lalu
dwelling time menjadi sekitar dua atau tiga hari. Bea cukainya kan jalan, tapi dipermasalahkan pajak, nanti dulu, ini kan pajaknya aturannya lain lagi, terus ini imigrasi lain lagi aturannya. Maksudnya saya ada aturan-aturan yang setingkat, itu kan sering tidak sinkron.
Lantas langkah apa yang mesti dilakukan untuk merampÂingkan postur hukum kita?Kalau cuma diubah Undang-Undang Bea Cukai, Undang-Undang Pelabuhan, Undang-Undang Kepabeanan dan macam-macam itu harus diubah. Kalau hanya membuat satu-satu seperti cara lama seperti itu akan susah. Jadi perubahaan itu harus bersama-sama dan harus ada beberapa perubahan yang basic, terintegrasi ke dalam satu paket.
Untuk mengkonkretkan ide itu apa perlu pemerintah membentuk badan khusus unÂtuk menangani perampingan regulasi ini?Wah, nggak perlu. Kan kita suÂdah ada. Kembalikan saja fungsi Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia itu sebagai dapur perundang-undangan, semua peraturan perundang-undangan dari pemerintah baik itu Perpres (Peraturan Presiden), Keppres (Keputusan Presiden) itu harus dari sana (KemenkumHAM) semua, sehingga disinkronisasiÂkan dahulu.
Memang selama ini Kemenkum HAM tidak pernah melakukan sinkronisasi antarpÂeraturan lagi seperti dulu?Nah selama ini kan ada ego sekÂtoral, ini mau buat sendiri, yang ini mau buat sendiri. Jadi enggak sinkron. Dulu ingat pada zaman Pak Harto, zaman Bung Karno dan sebelumnya, Kementerian Hukum dan HAM itu namanya Kementerian Kehakiman, karÂena dulu mengurusi promosi hakim dan sebagainya. Nah pada awal Orde Baru diubah menÂjadi Kementerian Hukum dan Perundangan, Kemenkumdang. Maksudnya ialah agar hukum dan undang-undang itu serasi, lebih pada konseptual. Nah sekarang saya dengar Kemenkumham itu sudah ditinggalkan dalam memÂbahas itu, sehingga tidak sinkron. Kadangkala ego sektoralnya muncul, kalau antar menteri itu diundang untuk sinkronisasi yang diutus pejabag eselon dua, jadi tidak bisa mengambil kepuÂtusan. Makanya sekarang diubah mekanismenya itu, karena supaya menjadi satu paket dan dikoÂmandoi Presiden dan bempernya Menkum HAM. ***
BERITA TERKAIT: