Pandangan nyelenah Butet ini bukan dilandasi ingin tampil beda, tapi didasarkan pada penÂgalamannya mengajar suku anak dalam di rimba belantara Jambi sejak 2003. Menurut dia, program pembangunan pemerinÂtah, justru kerap tidak membawa manfaat, sebaliknya terkadang malah membawa dampak buruk terhadap masyarakat lokal.
Di bidang pendidikan misalÂnya, ketiadaan guru di pedalaÂman sejatinya bukanlah masalah utama. Padahal banyak kaÂlangan kerap mengkambinÂghitamkan, minimnya guru di pedalaman, dengan ketertingÂgalan daerah pelosok. Nyatanya, menurut Butet, tidak demikian. Keberadaan guru ternyata beÂlum cukup untuk memastikan majunya pendidikan di daerah pedalaman. Berikut pemaparan lengkap Buteti;
Anda mengatakan, keberadaan guru di pedalaman tidak menjamin kemajuan pendidikan di sana. Kenapa bisa begitu?Karena kerap ada perbedaan persepsi antara masyarakat lokal, dengan para pengajar yang berasal dari luar. Para pengajar yang berasal dari luar ini suka enggak memahami perbedaan itu. Contoh, masyarakat di pedalaman itu sejak jaman nenek moyang terbiasa di manja oleh alam. Jadi jangan bilang enggak bisa menabung, bukan. Mereka terbiasa menganggap apa yang habis hari ini itu rejeki dari dewa. Jadi kalau dia dikasih sesuatu lalu habis hari itu juga jangan dibilang boros. Karena dia berpikir rezeki saya hari ini ya buat hari ini. Besok masih ada lagi.
Kenapa bisa sampai guru tidak memahami perbedaan persepsi tersebut?Karena kebanyakan dari merÂeka tidak mau belajar dulu, tidak mau memahami dulu mengenai bagaimana kehidupan mereka, apa kebutuhan mereka, apa yang mereka sukai, dan yang paling penting bagaimana mereka bisa menerima hal yang masuk dari luar. Di lapangan itu, kalau kami ketemu orang-orang dari pusat, mereka hanya memberitahu kita apa yang harus dilakukan. Jadi kalau dibalik, mereka mau belajar, mau mendengar saya seneng sekali.
Jadi guru seperti apa yang cocok mengajar di daerah pedalaman?Kalau menurut aku, yang coÂcok itu yang latar belakangnya bukan pendidikan sebagai guru. Tamatan dari lembaga keguruan malah suka jadi kendala. Maaf saja ini pendapat pribadi ya. Kalau aku pikir para guru ini, seÂjak dia belajar jadi guru enggak ada pemahaman tentang budaya komunitas. Jadi hasilnya bisa enggak sesuai yang diinginkan. Soalnya jadi lebih susah buat kaÂmi, untuk menyampaikan sistem belajar kepada orang berlatar belakang guru. Padahal, kami sudah punya sistem bagaimana menjalani sekolah. Nah, kalau yang latar belakang berbeda itu lebih mudah, karena lebih terbuka. Membagi pengetahuanÂnya lebih mudah. Walaupun sebetulnya mungkin saja ada orang berlatar pendidikan guru yang bisa cocok ya. Kadang ada guru yang mau terbuka belajar, atau mungkin ada penolakan terhadap pendidikan nasional, dan melihat celah kekuranganÂnya. Justru yang seperti itu lebih mudah belajar. Itu lebih bagus lagi sebenernya. Karena lebih punya metode. Dulu saya waktu mulai (mengajar di pedalaman) belum punya metode, ngajarnya acak-acakan. Untung ada teman yang bisa buat metodenya.
Kalau soal kurikulum penÂdidikan?Kurikulum pendidikan yang ada saat ini juga sebetulnya tidak tepat.
Kenapa bisa tidak tepat?Aku pikir sih, ini sepintas ya, karena susah diukur. Alat ukurnya susah. Lokal itu kan puÂnya ukuran sendiri-sendiri denÂgan yang disebut keberhasilan. Kalau nasional kan ada ukuran standarnya. Jadi kalau jago berÂburu masuk ke mana nih ukuranÂnya? Kan enggak ada. Jago meÂnyelam juga enggak ada. Nah, itu sebenarnya. Kelihatannya memang sederhana. Tapi buat orang yang melakukannya itu sangat penting.
Saat ini bukankah sudah ada muatan lokal (mulok) dalam kurikulum pendidikan kita. Apa itu juga masih kurang teÂpat diterapkan di pedalaman?Tepat sih, tapi tidak cukup. Mulok itu paling cuma dua persen, sisanya pengetahuan luÂar. Harusnya di balik, luar yang dua persen sisanya penguatan yang ada di situ. Tambahannya itu hanya yang bisa menambah pengetahuan untuk mengatasi kesulitan mereka. Kalau kami menyarankan supaya orang lokal yang dijadikan guru. Orang luÂarnya jadi guru untuk pelajaran khusus. Jadi fungsinya lebih kepada tambahan saja.
Lalu pemerintah harus baÂgaimana?Yang aku tahu sih, Pak Hilmar Farid (Dirjen Kebudayaan pada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan) sedang berusaha mengubah itu. Dia sudah meÂnyatakan, kalau ujian nasional tidak bisa dipakai untuk jadi alat ukur masyarakat adat. Selama 2-3 bulan ini, kami juga diskusi terus untuk membuat semacam kurikulum, atau formula belajar mengajar di pedalaman. Karena mereka baru menyadari, selama ini mengalami kendalanya.
Lantas apa tanggapan dari Kemendikbud terkait kurikuÂlum bagi anak pedalaman?Dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendiknas) itu bingung, kok ada namanya pendidikan enggak pakai alat ukur, enggak pake alat uji seperti ujian nasional, dan kurikulum. Mereka bingung, tapi kami membantu untuk mencari jalan tengahnya. Kami jelasin, kalau mengajar di pedalaman kita tuh dituntut untuk bisa menÂempatkan diri. Salah satu cara supaya bisa mengajari mereka itu, dengan membuat mereka memahami pentingnya suatu hal. Caranya ya dengan memperÂlihatkan dulu manfaatnya.
Contoh konkretnya apa?Dulu itu awalnya orang rimba kalau lihat pulpen saja lari. Tapi waktu mereka tahu, bahwa mantra-mantra yang diturunkan berkurang terus, karena hanya didasarkan pada daya ingat. Dari situ mereka jadi mikir. Mereka bilang sama saya, Butet, kalau kamu tulis ini mantra, mungkin sebelum saya mati bisa tersimÂpan sehingga anak saya bisa melanjutkan. Mereka jadi sadar pendokumentasian itu penting. Kadang-kadang kalau mereka tiba - tiba inget mantra, jam 2 malam itu mereka panggil saya. Butet itu saya inget, saya nyeberang sungai lagi untuk menuliskan mantranya. Coba kalau anaknya bisa nulis, bisa mendokumentasikan. Dari situ mereka jadi ngerti, kalau ini salah satu cara untuk memperÂtahankan hidup.
Kok bisa pemerintah baru menyadari kesalahan itu. Apakah selama ini mereka tidak mempelajari masyarakat lokal atau gimana?Ya bisa jadi begitu. Mereka itu kalau datang, ya datang. Tapi seperti saya bilang tadi, masih kurang mau belajar untuk memahami. Guru yang ditugaskan di sana pun akhirnya jadi suka frustrasi sendiri. Kok anak - anak enggak ada yang datang ya ke sekolah? Padahal sebetulnya mereka datang tiap hari. Mereka ke sekolah, pakai seragam, tapi enggak masuk ke kelas. Banyak dari mereka yang lebih memilih untuk main di luar, manjat poÂhon, atau mandi di sungai.
Kenapa begitu?Karena mereka enggak melihat sekolah itu berguna, dan menyÂenangkan. Menyenangkan versi dia ya. Kalau di sini mungkin menyenangkan nih kalau belajar pakai iPad. Kalau di pedalaman mungkin menyenangkan kalau belajar sambil gelantungan di pohon. Kalau guru kan ngeliatnya, waduh apaan sih nih? Padahal kalau mereka yang sudah ratusan tahun enggak lihat kursi, kalau disuruh duduk, yang ada gemetaran, belajarnya jadi engÂgak konsentrasi deh. Jadi di pedalaman itu enggak bisa pakai versi belajarnya kota. ***
BERITA TERKAIT: