Anda benar-benar belum dengar soal kabar pemecatan diri Anda dari MUI? Belum. Berita ini justru baru saya denger dari sampeyan ini.
Memang sebelumnya Anda tidak pernah dipanggil MUI untuk dimintai keterangan? Tidak ada sama sekali.
Wakil Ketua Umum MUI Zainut Tauhid mengatakan, salah satu penyebab Anda dipecat dari MUI karena ketidakaktifan Anda sejak Munas. Apa benar? Benar itu yang disampaikan. Sesekali saya hadir, dan ada juga yang saya tidak hadir. Lalu dalam rapat saya juga tidak selalu samÂpai selesai, karena kadang kan harus ke kantor PBNU (Pengurus Besar Nahdlatul Ulama) juga. Tapi bukan sama sekali tidak hadir.
Anda sendiri sebelum apa pernah mendapat peringatan dari MUI soal ketidakaktifan Anda itu? Tidak pernah. Peringatan meÂnyuruh supaya lebih aktif juga tidak ada.
Kok bisa tiba-tiba langsung dipecat sih? Saya juga tidak tahu, silaÂkan minta penjelasan kepada pengurus (MUI). Tapi saya juga tidak terlalu kaget. Dulu waktu pernyataan sikap soal pidato Ahok di Pulau Seribu juga saya enggak diundang. Kalau diundang mungkin saya meÂnyampaikan pandangan saya di sana. Padahal saya Wakil Ketua Komisi Fatwa, punya hak tapi tidak diundang. Harusnya rapat, semua anggota diundang sehÂingga putusan MUI itu tidak ada cacat, tidak ada cela, sempurna. Itu ceroboh menurut saya.
Lalu tanggapan Anda atas keputusan pemecatan ini baÂgaimana? Tidak ada masalah. Nasib itu kan ditentukan oleh keberanian mengambil keputusan, dan keÂberanian mengambil risiko. Apa saja yang saya lakukan sudah saya perhitungkan. Saya ini bukan orang yang cinta jabatan. Toh saya menjabat sebagai Wakil Ketua Komisi Fatwa karena diminta. Saya tadinya diminta jadi Ketua Komisi Fatwa, tapi saya enggak mau. Maunya jadi anggota biasa saja, karena ngerasa enggak sanggup jadi pembuat fatwa. Tapi Pak Maruf minta supaya jadi wakil ketua. Jadi kemudian kalau diberi sanksi pemecatan ya Alhamdulillah, jadi enggak punya amanah yang berat lagi.
Saat diundang Pengacara Ahok untuk memberikan kesaksian, Anda sebelumnya minta izin dulu enggak sih ke pengurus MUI? Tidak, dan saya rasa memang tidak perlu. Karena di pengadilan saya itu memberikan kesaksian sesuai keahlian saya sebagai pribadi, bukan perwakilan MUI atau PBNU. Kalau perwakilan MUI dan PBNU kan sudah ada.
Persoalannya kesaksian Anda sangat kontras dengan fatwa MUI, sementara Anda sendiri kan saat memberi kesaksian itu masih menjabat sebagai Wakil Ketua Komisi Fatwa MUI... Soal berbeda pendapat dengan saksi fakta atau pun saksi ahli dari MUI, saya mengganggapÂnya wajar saja. Di PBNU itu diskusi silang pendapat, bahkan mengkritik itu suatu hal yang biasa.
Hal yang berbeda dengan masalah penghormatan, di mana saya tetap menghormati Rais Aam PBNU dan pula semua saÂhabat saya dari komisi fatwa. Jadi harusnya tidak masalah. Kecuali kalau di organisasi diterapkan ketentuan etik, kalau bawahan harus sama dengan atasan.
Apa sih alasan Anda memilÂih berbeda pandangan dengan fatwa MUI? Saya berbeda dikarenakan saya melihat ada ketidakadilan dalam pernyataan sikap keputuÂsan MUI. Keputusan itu diambil tidak melalui tabayun. Dengan tidak dilakukannya tabayun, rasa keadilan atau hak jawab dari Pak Ahok hilang. Saya anggap hal ini perlu saya pertanyakan di muka persidangan, agar hakim memuÂtus berdasarkan pandangan dari semua pihak. Sebab, saya tidak mau hakim menghukum orang yang tidak bersalah. ***
BERITA TERKAIT: