Sudah seminggu, puluhan petani Kendeng melakukan aksi mengecor kaki di depan Istana Negara. Mereka berharap Pegunungan Kendeng yang merupakan sumber air bagi lahan-lahan petani dapat dijaga kelestariannya.
Perwakilan komunitas adat Sedulur Sikep, Gunretno, menuÂturkan aksi menolak pembanÂgunan pabrik semen milik PT Semen Indonesia itu tidak seÂmata bertujuan untuk memperÂtahankan hak hidup petani yang ada di Kabupaten Rembang saja, melainkan demi kelestarian alam di Jawa Tengah.
Diterangkannya, aktivitas penambangan di kawasan karst memiliki dampak yang merusak bagi keberadaan sumÂber air di bawah Pegunungan Kendeng. "Sementara, sudah puluhan tahun para petani di Rembang, Pati, Blora, dan Grobogan bergantung pada sumber air dari Pegunungan Kendeng," katanya.
Gunretno menuturkan, saat pertemuan pada 2 Agustus 2016, Presiden Jokowi menyepakati bahÂwa harus ada Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) sebelum pabrik semen beroperasi di kaÂwasan Kendeng.
Presiden bahkan menjamin KLHS yang berada di bawah tim dari Kantor Staf Presiden dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dilakukan secara terbuka.
Tak hanya itu, dalam putusan peninjauan kembali (PK) pada 5 Oktober 2016, Mahkamah Agung memenangkan gugatan petani Pegunungan Kendeng dan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) terhadap PT Semen Indonesia. Putusan itu menyatakan izin lingkunÂgan yang diterbitkan Gubernur Jawa Tengah untuk PT Semen Indonesia harus dibatalkan.
Namun pada 23 Februari lalu, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo justru mengeluarkan izin baru untuk PT Semen Indonesia di wilayah Pegunungan Kendeng. "Padahal Presiden Jokowi menyepakati bahwa harus ada kajian di Kendeng dan jangan ada izin baru sebelum KLHS selesai dilakuÂkan," sebut Gunretno.
Ketua Komnas Perempuan, Azriana, dalam keterangan perÂsnya menyebutkan pihaknya teÂlah melakukan pemantauan terÂhadap pengelolaan sumber daya alam, terutama di Pegunungan Kendeng.
"Ibu-ibu yang tinggal di sekitar pegunungan Kendeng juga mengÂkhawatirkan udara yang polusi, panen yang gagal serta aneka tumbuh-tumbuhan jamu dan obat yang semakin langka," katanya.
Menurutnya, yang mengÂkhawatirkan adalah terjadinya penggusuran warga dari sumÂber kehidupannya, kebijakan otonomi daerah yang mengakiÂbatkan perusakan lingkungan, polusi udara dan tanah (dan air), potensi hilangnya situs bersejarah, makam leluhur dan mata air, konflik horisontal antar warga, bahkan perubahan grand design pembangunan dari daerah pertanian menjadi daerah tambang dan industriÂalisasi.
"Kesemuanya berdampak pada perempuan, dimana bagi perempuan, air tidaklah sekedar air, air adalah hak," tegasnya.
Termasuk di dalamnya, hilangnya pengetahuan asli perempuan, lemahnya partisipasi perempuan dalam pengambilan keputuÂsan, perempuan mengalami kerumitan ekonomi, potensi pekerja migran dan trafficking perempuan meningkat, stigma pada perempuan pembela HAM sebagai anti pembangunan kekÂerasan dan ancaman kekerasan terhadap perempuan.
Sebelumnya, Kepala Kantor Staf Presiden Teten Masduki memastikan, operasional PT Semen Indonesia di Pegunungan Kendeng, Rembang, Jawa Tengah, dihentikan sementara.
"Tadi pagi (20/3) kami pangÂgil PT Semen Indonesia, hadir juga pihak dari Kementerian BUMN dan Kementerian lingÂkungan hidup. Disepakati, PT Semen Indonesia menghentiÂkan sementara proses penamÂbangannya," ujar Teten, di Kantornya.
Pihak perusahaan, lanjut Teten, akan menunggu haÂsil Kajian lingkungan hidup Strategis (KLHS) yang diÂtargetkan selesai pada April 2017 mendatang. Dia bilang, perusahaan juga bersedia memÂperbaiki infrastruktur yang rusak akibat dari aktivitas pertambangan. ***
BERITA TERKAIT: