WAWANCARA

Refly Harun: Mayoritas Kepala Daerah Diberhentikan Sementara Dalam Status Terdakwa Tindak Pidana Korupsi...

Selasa, 14 Februari 2017, 09:23 WIB
Refly Harun: Mayoritas Kepala Daerah Diberhentikan Sementara Dalam Status Terdakwa Tindak Pidana Korupsi...
Refly Harun/Net
rmol news logo Sabtu (11/2), Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok kembali menempati kursi DKI 1 setelah cuti masa kampanyenya rampung. Keputusan pemerintah ini jelas memicu kon­troversi, mengingat Ahok saat ini berstatus terdakwa kasus penistaan agama.

Perbedaan pendapat terkait perkara pengaktifan Ahok kem­bali menjadi Gubernur DKI Jakarta, tak hanya terjadi di kalangan masyarakat awam. Hal yang sama pun terjadi di tataran pakar Hukum Tata Negara. Bekas Hakim Konstitusi Mahfud MD menyebut Pasal 83 ayat 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah (UU Pemda) sudah jelas amanatnya apabila kepala daerah menjadi terdakwa harus diberhen­tikan sementara. "Seorang kepala daerah yang menjadi terdakwa, bukan menjadi tertuntut lho ya, yang sudah menjadi terdakwa itu diberhentikan sementara. Tidak ada pasal lain yang bisa menafik­kan itu," kata Mahfud.

Sekadar informasi pasal 83 ayat 1 UU Pemda mengatakan, Kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah diberhentikan sementara tanpa melalui usulan DPRD karena didakwa melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun, tindak pidana korupsi, tindak pidana terorisme, makar, tindak pidana terhadap keamanan nega­ra, dan/atau perbuatan lain yang dapat memecah belah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Pakar Hukum Tata Negara, Refly Harun tak sependapat den­gan tafsir Mahfud itu. Berikut pernyataan Refly Harun kepada Rakyat Merdeka terkait kontro­versi itu;

Argumentasi hukum apa yang Anda miliki sehingga Anda mengatakan tidak ada alasan untuk menonaktifkan Ahok kembali?
Kalau bicara tentang penonaktifian atau pemberhentian se­mentara, maka acuannya Pasal 83 ayat 1 Undang-Undang Pemda. Pasal itu berbunyi, "Kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah diberhentikan sementara tanpa melalui usulan DPRD karena didakwa melakukan tindak pi­dana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara paling singkat lima tahun, tindak pi­dana korupsi, tindak pidana terorisme, makar, tindak pidana terhadap keamanan negara, dan/atau perbuatan lain yang dapat memecah belah Negara Kesatuan Republik Indonesia". Artinya, kalau diancam huku­man 5 tahun atau lebih barulah Ahok masuk kategori Pasal 83 ayat 1, dan bisa dinonaktifkan.

Tapi Ahok kan juga didakwa dengan Pasal 156a KUHP den­gan ancaman hukuman paling lama lima tahun?
Apa berdasarkan lima tahun tersebut, lantas Ahok harus dinonaktifkan? Pada titik ini, saya berbeda pendapat dengan beberapa ahli hukum, termasuk Pak Mahfud MD dan Pak Denny Indrayana. Menurut saya tidak bisa, ketentuannya tidak masuk pasal tersebut.

Kenapa tidak bisa?
Sebelumnya saya pun termasuk yang mengatakan Ahok harus dinonaktifkan setelah selesai cuti kampanye, tetapi setelah membaca kembali Pasal 83 ayat (1) UU Nomor 23 Tahun 2014 berkali-kali, pendapat saya berubah.

Saya berpendapat kejahatan yang disinggung pada Pasal 83 ayat (1) tersebut adalah jenis ke­jahatannya. Itulah sebabnya ada korupsi, terorisme, makar, dan kejahatan terhadap keamanan negara. Semuanya itu adalah jenis atau macam-macam ke­jahatan.

Tapi ancamannya kan sama lima tahun?
Perbedaannya dalam frasa "…tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara paling singkat lima tahun". Jenis kejahatan apa yang diatur dalam frasa tersebut? Kalau ancaman­nya paling singkat lima tahun, sudah pasti itu adalah jenis ke­jahatan atau tindak pidana berat, bukan tindak pidana ringan atau tindak pidana menengah yang ancaman hukumannya kurang dari lima tahun. Kenapa harus tindak pidana berat? Agar kepala daerah tidak begitu mudah diber­hentikan sementara, dengan cara menjadikannya tersangka.

Tetapi bukankah kasus Ahok juga berpotensi me­mecah belah NKRI. Artinya bisa masuk ketentuan dalam Pasal 83 Undang-Undang Pemda itu dong...
Dikaitkan dengan eksistensi Pasal 83 ayat (1) Undang-Undang Pemda itu setidaknya dua frasa yang potensial digunakan untuk memberhentikan sementa­ra Ahok, yaitu (1) tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan (6) perbuatan lain yang dapat memecah belah NKRI.

Masalahnya soal ini tidak jelas dan cenderung multitafsir. Undang-Undang Pemda tidak memberikan penjelasan apa yang dimaksud dengan "per­buatan yang memecah belah" tersebut. Penjelasan pasal itu menyatakan "cukup jelas".

Tentu pertanyaan yang mun­cul kemudian, apakah tindakan Ahok memecah belah NKRI? Yang pro dan kontra akan sama banyaknya. Yang jelas, saat ini belum ada institusi yang bisa mengatakan hal tersebut.

Kalau menonaktifkan Ahok kembali dengan menggunakan Pasal 31 ayat (1) Undang-Undang 32/2004 lewat klausal keamanan negara bagaima­na?
Tetap tidak bisa. Pasal itu secara limitatif menyebutkan empat jenis kejahatan saja yang bisa diberhentikan sementara dalam status terdakwa, yaitu (1) korupsi, (2) terorisme, (3) makar, dan (4) tindak pidana terhadap keamanan negara. (sekadar informasi Pasal 31 ayat 1 UU 32/2004 tentang Pemda ber­bunyi; Kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah diberhen­tikan sementara oleh Presiden tanpa melalui usulan DPRD karena didakwa melakukan tindak pidana korupsi, tindak pidana terorisme, makar, dan/atau tindak pidana terhadap keamanan negara)

Selama ini, hampir tidak ada masalah karena mayoritas kepala daerah diberhentikan sementara dalam status terdakwa karena korupsi. Untuk korupsi sudah dinyatakan secara jelas, tegas, terang benderang, tidak ada keraguan lagi. Seperti halnya tindak pidana terorisme, makar, dan kejahatan terhadap keaman­an negara. Untuk itu, saya tetap tidak sependapat jika pasal itu diterapkan untuk menonaktifkan Ahok dari jabatan Gubernur DKI. Sebab dia tidak korupsi, makar, dan melakukan tindak terorisme.

Bukankah ada juga kepala daerah lainnya yang langsung dinonaktifkan begitu menjadi terdakwa?
Betul. Misalnya mereka yang didakwa dengan pembunuhan berencana sudah pasti akan ditahan. Ditahan adalah salah satu alasan selama ini yang dipakai untuk memberhentikan sementara.

Tidak ada aturannya, tetapi berdasarkan prinsip diskresi dan logika bisa diterima kalau dinonaktifkan karena memang secara faktual berhalangan.

Dalam praktik di Kementerian Dalam Negeri, yang kena operasi tangkap tangan (OTT) juga langsung diberhentikan semen­tara. Demikian pula yang terjerat narkoba setelah Badan Narkotika Nasional (BNN) menyatakannya positif. Semua itu tidak diatur dalam peraturan tertulis, tetapi Presiden atau Menteri Dalam Negeri dapat menggunakan diskresinya.

Lho lantas mengapa diskresi itu tidak diterapkan juga ke­pada Ahok?

Tidak bisa. Aturan diskre­si tersebut menurut Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Singkatnya, kalau peraturan­nya sudah jelas, tidak boleh menggunakan diskresi. Dalam perspektif saya, yang sudah jelas itu termasuk ketentuan jenis ke­jahatan dengan ancaman "paling singkat lima tahun" yang artinya kejahatan berat.

Jadi kesimpulannya, Ahok pasti tidak bisa dinonaktifkan saat ini?

Kalau memakai pendekatan hukuman sih, saya mengatakan tidak ada alasan untuk menon­aktifkan atau memberhentikan sementara (Ahok). Tapi, kita tahu, soal Ahok ini adalah soal yang sangat politis dan tidak hanya soal hukum, antara yang pro dan kontra sama kuatnya. Tapi marilah kita melihat pasal 83 ayat 1 (UU Pemda) itu secara jernih.

Pendapat saya tidak ada alasan kalau berpatokan pada pasal itu. Tapi memang tentu Presiden Jokowi berada pada titik dilema, yang paling populer adalah menonaktifkan, karena diang­gap akan netral. Kalau tidak menonatifkan dianggap tidak netral. ***

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA