WAWANCARA

Haris Azhar: Rekonsiliasi Itu Harus Jelas Dong, Pelakunya Siapa Korbannya Siapa...

Senin, 06 Februari 2017, 08:37 WIB
Haris Azhar: Rekonsiliasi Itu Harus Jelas Dong, Pelakunya Siapa Korbannya Siapa...
Haris Azhar/Net
rmol news logo Sebelumnya hubungan KontraS dan Komnas HAM selalu harmonis. Kedua organisasi ini dulu kerap segendang sepenarian dalam menangani kasus HAM. Namun belakan­gan hubungan keduanya men­jadi tegang menyusul muncul­nya kabar adanya kesepakatan antara Komnas HAM dengan Menkopolhukam terkait penun­tasan kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu. Haris Azhar cs betul-betul kecewa begitu men­dengar kabar tersebut hingga akhirnya melaporkan Jenderal Wiranto dan Komnas HAM ke Ombudsman. Berikut penu­turan Haris Azhar kepada Rakyat Merdeka terkait laporan KontraS terhadap keduanya;

Anda melaporkan Menkopolhukam dan Komnas HAM ke Ombudsman lan­taran Anda menganggap ked­uanya melakukan maladmin­istrasi. Apa yang melandasi pemikiran itu?

Pertama, kalau dilihat dari peraturan tentang Kemenkopolhukam, tugasnya dia hanya mengkoordinasi­kan kementerian yang ada di bawahnya, bukan merumuskan satu penyelesaian hukum, atau membuat suatu kebijakan dan model yang berimplikasi pada hilangnya penegakan hukum. Menjadi masalah serius ketika hukum tidak digunakan kepada sebuah tindak pidana. Apalagi ini tindak pidana berat yang enggak sembarangan. Enggak bisa levelnya sekelas menteri memutuskan begitu saja.

Jadi patut diduga dia (Menkopolhukam) menyalahgunakan wewenangnya. Kedua, menurut undang-undang dia enggak boleh menggunakan kewenangannya untuk membuat suatu kebijakan yang berimplikasi terhadap ke­pentingan pribadinya.

Di mana kepentingan prib­adinya? Dalam kasus-kasus yang akan menjadi objek seperti Trisakti Semanggi kan Wiranto disebut-sebut sebagai pihak yang bertanggung jawab. Hari ini dia menggunakan kekuasaannya untuk menutupi kewajibannya bertanggung jawab, itu enggak boleh.

Hakim aja enggak boleh per­iksa perkara yang pelaku atau korbannya ada hubungan darah. Nah ini Wiranto bukan pemilik otoritas hukum, tapi mengguna­kan kewenangan pada dirinya.

Tetapi bukankah Ketua Komnas HAM sudah mem­bantah ada kesepakatan un­tuk melakukan rekonsiliasi dalam penyelesaian kasus pe­langgaran HAM masa lalu. Tanggapan anda?
Ah, susah kita percaya sama Komnas HAM hari ini. Komnas HAM kan juga punya kewa­jiban mendorong proses hukum. Ngapain dia datengin Wiranto. Kalo Wiranto punya kepentin­gan terhadap Komnas HAM, dia dateng dong ke Komnas HAM. Dia enggak tahu aja dulu bagaimana Komnas HAM mau periksa Wiranto. Komisioner Komnas HAM yang dulu ya, bukan yang sekarang.

Memang dulu bagaimana?
Dulu Wiranto diundang Komnas HAM (untuk diperiksa terkait kasus pelanggaran HAM masa lalu) enggak pernah mau datang. Waktu pemeriksaan ka­sus Trisakti, Semanggi kan nggak datang. Artinya dia meremehkan Komnas HAM, meremehkan proses hukum, membangkang hukum. Kok sekarang (Komnas HAM) dipanggil Wiranto malah datang ke sana. Itu kan artinya mereka (Komnas HAM) sedang merendahkan diri sendiri.

Tapi bukankah Wiranto yang kini duduk di kursi Menkopolhukam sangat wajar jika sewaktu-waktu mengun­dang Komnas HAM...
Kalau memang berkaitan den­gan kepentingan publik, mes­tinya mereka bikin konsultasi. Panggil juga dong pihak-pihak terkait, libatkan dalam diskusi. Ini kan enggak, main ngumumin aja. Ngacolah. Saya malah da­pat informasi, ternyata empat orang (anggota Komnas HAM) yang ke Kemenkopolhukam ini jalan sendiri. Rupanya ada per­pecahan dalam Komnas HAM. Jadi Imdadun, Siti Nurlela itu memang lagi main akrobat.

Lantas melihat kondisi itu apa Anda masih punya hara­pan kasus pelanggaran HAM masa lalu bisa terselesaikan?
Saya cukup pesimistis dan enggak banyak harapan dengan pemerintahan sekarang. Karena nama-nama terduga kuat pelang­gar HAM-nya saja ada di sekitar Presiden Jokowi. Padahal bukti dan saksi masih banyak. Secara hukum ada undang-undang yang memerintahkan untuk menun­taskan. Kenapa harus cara lain. Kalau menyelesaikan dengan cara yudisial dan nonyudisial, kami sangat mendukung. Tapi kalau rekonsiliasi, kami meno­lak.

Kenapa?
Pertama, karena yudisial dan nonyudisial itu masing-masing punya prinsip. Kesamaan prin­sipnya adalah enggak boleh merendahkan hak korban, yaitu hak atas keadilan. Sementara untuk rekonsiliasi, hak para kor­ban ini tidak bisa didapat karena proses yudisialnya dihentikan. Ditambah lagi penyelesaian ka­susnya jadi enggak jelas.

Maksud Anda dengan jalan rekonsiliasi penyelesaian ka­susnya jadi nggak jelas, ba­gaimana?
Iya dong. Memang sekarang kalau mau rekonsiliasi, yang mau direkonsiliasi siapa sama siapa? Renkonsiliasi harus jelas, pelakunya siapa korbannya siapa. Kalau proses yudisialnya dihentikan, berarti pelaku sebe­narnya kan enggak ketahuan. Jadi kami menolak itu bukan karena mau buat kegaduhan sep­erti yang Wiranto bilang. Yang gaduh siapa? Kami mau nuntut hak para korban. Pelakunya siapa, korbannya siapa, emang­nya enggak boleh?.

Lantas apa bedanya dengan penyelesaian nonyudisial?
Non yudisial itu bukan menu­tupi proses yudisial. Bukan artinya enggak bisa diselesaikan secara hukum, lalu diselesaikan melalui nonyudisial. Nonyudisial itu melengkapi proses yudi­sial. Hak para korban diberikan melalui cara-cara nonyudisial. Misalnya pemulihan kerugian yang dialami oleh para korban. Selama proses yudisial berjalan, para korban bisa memperoleh pemulihan. Itu satu paket. Nah, Presiden harus ngumumin tuh, kita akan proses hukum, tapi selama proses hukum berjalan para korban akan kami pulihkan semua kerugiannya. Barangkali ada yang cacat, masih ada peluru di badannya. Itu (penyelesaian) nonyudisial.

Tapi pemerintah kan berala­san memilih penyelesaian den­gan jalan rekonsiliasi lantaran kasusnya sudah terlalu lama sehingga bukti-buktinya sulit didapat. Tanggapan Anda?
Menurut saya ini soal ketidak­beranian dan ketidakmauan neg­ara aja sebetulnya. Jokowinya enggak punya pemahaman soal penyelesaian ini. Kedua, dia juga enggak punya keberanian. Yang ketiga situasinya dimanfaatkan oleh orang-orang disekitarnya yang anti-konstitusi. Jaksa Agung bilang, bagus tuh rekon­siliasi. Sebab bukti-buktinya sudah enggak ada. Dia baru dua tahun jadi Jaksa Agung, sudah ngomong bukti enggak ada. Sementara faktanya berkas­nya selalu dipulangin sama Kejagung. Artinya mereka eng­gak ngelakuin tindakan apapun. Jadi dari mana dia tahu buktinya enggak ada. Itu hoax kalo dia ngomong gitu, pembohongan itu. Proses yudisial masih bisa dan penting.

Sebenarnya apa sih yang dilaporkan keluarga korban Semanggi I itu?
Mereka melaporkan Presiden karena selama ini surat per­hononan untuk mengusut tuntas kasus pelanggaran HAM masa la­lu enggak pernah dibalas. Padahal itu hak mereka sebagai warga negara yang menjadi korban. Jadi mereka minta Ombudsman periksa Presiden. ***

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA