Lingkungan pacu kita sebagai umat beragama semakin teruji (untuk tidak mengatakan semakin rusak). Memang semuanya sudah berubah. Salahsatu faktornya ialah masa depan datang lebih awal melampaui kecepatan kita menyÂiapkan diri. Mestinya masa depan itu datang 50 tahun lagi tetapi sudah masuk di dalam kamar-kamar kita. Dampaknya ialah munculnya multiple shock. Di antaranya cultural shock,
economical shock, IT shock, sampai kepada
theological shock. Multi shock ini perlu dicermati. Jika generasi muda tidak segera dilakukan membinaan intensif maka serta merta ideologi terlarang dari dalam negeri dan dari luar negeri bisa mencekam negeri kita.
Apa jadinya jika masa depan datang lebih awal dari pada perkiraan kita? Pertanyaan ini dianalisis lebih cermat oleh Prof. Clifford Geertz dalam bukunya
The Observed. Geertz membayangkan suatu masyarakat yang akan mengalami apa yang disebut dengan kepribadian ganda (
split personalÂity). Sayang sekali Geertz, ahli antropologi agama senior dari Amerika Serikat yang melakukan penelitiannya doktornya di Indonesia ini keburu wafat sebelum menyaksikan prediksinya menjelma menjadi suatu kenyataan.
Apa yang pernah diprediksi Geertz kini banyak melanda umat beragama. Antara konsep ajaran dan realitas sosial semakin berjarak, sehingga tidak jarang kita temukan orang mengalami disorientasi dan kepribadian ganda dalam keÂhidupan beragama. Ada suasana hipokrit dan antagonistik dialami banyak orang dewasa. Dari satu sisi ia harus berpeÂgang teguh terhadap ajaran agamanya tetapi pada sisi lain, realitas sosial kehidupannya begitu banyak berubah dengan cepat, sehingga terjadi jarak yang semakin melebar antara agama dan para pemeluknya.
Sebagai seorang yang beragama di abad millenium ini, kita sering mengesankan agama terlalu normatif, lebih bersifat dogmatis, doktrinal, membatasi, lebih berorientaÂsi masa lampau, terkesan konservatif, statis, terlalu tekÂstual, emosional, lebih bersifat kualitatif dan pendekatanÂnya lebih bersifat deduktif. Sementara dalam kehidupan riil masyarakat sedemikian rasionalnya, bahkan cenderung liberal, membebaskan, lebih berorientasi masa depan, lebÂih dinamis dan
mobile, sofisticated, lebih bersifat kuantitatif dan pendekatannya lebih bersifat induktif.
Tentu saja memecahkan persoalan ini tidak mudah karÂena dimensinya sangat kompleks. Yang pasti umat beÂragama dituntut untuk sesegera mungkin melakukan peÂnyerasian antara tuntunan agama dan tuntutan kehidupan riil di dalam masyarakat. Laju perkembangan globalisasi yang dipicu oleh perkembangan sains dan teknologi serÂta media informasi, telekomunikasi, dan transportasi yang begitu canggih. Akibat perkembangan yang sedemikian cepat, maka seolah melahirkan
multiple shock, kekagetan multi dimensi di dalam masyarakat. ***