Merawat Toleransi (46)

Mempertemukan Pemeluk & Ajaran Agamanya

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/nasaruddin-umar-5'>NASARUDDIN UMAR</a>
OLEH: NASARUDDIN UMAR
  • Kamis, 12 Januari 2017, 09:00 WIB
Mempertemukan Pemeluk & Ajaran Agamanya
Nasaruddin Umar/Net
AGAMA mestinya menjadi pandangan hidup (way of life) bagi pemeluknya. Apa jadinya agama dan pemeluknya berja­rak? Apakah masih bisa disebut agama jika tanpa pemeluk? Mungkin mitos? Apa masih bisa disebut manusia tanpa agama? Mungkin monster? Lihatlah pe­mandangan di sekitar kita atau mungkin lihatlah diri kita sendiri. Apa kata agama dan apa yang dilakukan pemeluknya, atau apa kata agama dan apa yang kita lakukan? Semakin berjarak antara agama dan pemeluknya semakin gagal kita menciptakan lingkungan pacu pemban­gunan yang berbasis moral kemanusiaan.

Lingkungan pacu kita sebagai umat beragama semakin teruji (untuk tidak mengatakan semakin rusak). Memang semuanya sudah berubah. Salahsatu faktornya ialah masa depan datang lebih awal melampaui kecepatan kita meny­iapkan diri. Mestinya masa depan itu datang 50 tahun lagi tetapi sudah masuk di dalam kamar-kamar kita. Dampaknya ialah munculnya multiple shock. Di antaranya cultural shock, economical shock, IT shock, sampai kepada theological shock. Multi shock ini perlu dicermati. Jika generasi muda tidak segera dilakukan membinaan intensif maka serta merta ideologi terlarang dari dalam negeri dan dari luar negeri bisa mencekam negeri kita.

Apa jadinya jika masa depan datang lebih awal dari pada perkiraan kita? Pertanyaan ini dianalisis lebih cermat oleh Prof. Clifford Geertz dalam bukunya The Observed. Geertz membayangkan suatu masyarakat yang akan mengalami apa yang disebut dengan kepribadian ganda (split personal­ity). Sayang sekali Geertz, ahli antropologi agama senior dari Amerika Serikat yang melakukan penelitiannya doktornya di Indonesia ini keburu wafat sebelum menyaksikan prediksinya menjelma menjadi suatu kenyataan.

Apa yang pernah diprediksi Geertz kini banyak melanda umat beragama. Antara konsep ajaran dan realitas sosial semakin berjarak, sehingga tidak jarang kita temukan orang mengalami disorientasi dan kepribadian ganda dalam ke­hidupan beragama. Ada suasana hipokrit dan antagonistik dialami banyak orang dewasa. Dari satu sisi ia harus berpe­gang teguh terhadap ajaran agamanya tetapi pada sisi lain, realitas sosial kehidupannya begitu banyak berubah dengan cepat, sehingga terjadi jarak yang semakin melebar antara agama dan para pemeluknya.

Sebagai seorang yang beragama di abad millenium ini, kita sering mengesankan agama terlalu normatif, lebih bersifat dogmatis, doktrinal, membatasi, lebih berorienta­si masa lampau, terkesan konservatif, statis, terlalu tek­stual, emosional, lebih bersifat kualitatif dan pendekatan­nya lebih bersifat deduktif. Sementara dalam kehidupan riil masyarakat sedemikian rasionalnya, bahkan cenderung liberal, membebaskan, lebih berorientasi masa depan, leb­ih dinamis dan mobile, sofisticated, lebih bersifat kuantitatif dan pendekatannya lebih bersifat induktif.

Tentu saja memecahkan persoalan ini tidak mudah kar­ena dimensinya sangat kompleks. Yang pasti umat be­ragama dituntut untuk sesegera mungkin melakukan pe­nyerasian antara tuntunan agama dan tuntutan kehidupan riil di dalam masyarakat. Laju perkembangan globalisasi yang dipicu oleh perkembangan sains dan teknologi ser­ta media informasi, telekomunikasi, dan transportasi yang begitu canggih. Akibat perkembangan yang sedemikian cepat, maka seolah melahirkan multiple shock, kekagetan multi dimensi di dalam masyarakat. ***

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA