Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Kenaikan Listrik Awal 2017 Insentif Bagi Investor Energi Batubara

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/pius-ginting-5'>PIUS GINTING</a>
OLEH: PIUS GINTING
  • Minggu, 01 Januari 2017, 16:30 WIB
Kenaikan Listrik Awal 2017 Insentif Bagi Investor Energi Batubara
Pius Ginting/Net
PEMERINTAH berencana menaikkan harga listrik untuk konsumen rumah tangga pada awal tahun 2017. Kenaikan akan dikenakan pada pemakai 900 VA, merupakan golongan besar rumah tangga pengguna PLN, yakni 23 juta pelanggan (36,4 persen). Kenaikan ini akan dilakukan bertahap, Januari 2017 sebanyak 35 persen, disusul kenaikan Maret 38 persen, dan Mei 24 persen. Ini adalah kenaikan yang cukup besar.

Mayoritas pembangkit listrik Indonesia saat ini berbahan bakar batubara. Yakni sebanyak 21.087 MW (52,3 persen), disusul tenaga gas dan uap sebanyak 8.894,10 MW (22,09 persen) dan diesel sebanyak 3.175,77 MW (7,89 persen). Dengan begitu, harga batubara menjadi faktor sangat menentukan bagi Biaya Pokok Penyediaan Listrik (BPP) dan harga jual listrik.

Harga rata-rata batubara selama tahun 2016 masih rendah dibandingkan dengan harga rata-rata 4 tahunan terakhir. Pengalihkan pembangkit listrik berbahan bakar minyak ke batubara  membuat PLN menghemat pengeluaran sebanyak Rp 36 triliun pada tahun 2015 karena harga batubara yang rendah.

Di samping harga bahan bakar, biaya pokok penyediaan listrik ditentukan oleh nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing serta tingkat inflasi. Nilai tukar rupiah tahun 2016 masih lebih kuat dibandingkan semester kedua tahun 2015. Dengan begitu, tidak terdapat alasan membuat kebijakan menaikkan harga jual listrik pada tahun 2016 berdasarkan nilai tukar rupiah. Sementara itu, menaikkan harga listrik justru akan mendorong inflasi.

Rencana kenaikan tarif listrik ini dilakukan ditengah pemerintah dan PLN mengecilkan porsi PLN dalam usaha pembangkit listrik, dan memperbesar peran swasta. Dan mayoritas pembangkit swasta ini menawarkan teknologi batubara, termasuk investor dari negara maju yang telah meninggalkan teknologi batubara. Kenaikan harga listrik dengan pasokan bahan bakar sebagian besar berasal dari jenis energifosil paling kotor ini membuat investasi energi Indonesia tertinggal dalam jebakan energi fosil yang kotor. Kenaikan listrik ini memberikan insentif  kepada pembangkit listrik batubara, dan tidak sejalan dengan komitmen pengurangan gas rumah kaca.

Pemerintah menyatakan pencabutan subsidi listrik golongan 900 VA akan menghasilkan dana 22 trilyun, akan digunakan membangun infrastruktur kelistrikan di daerah terpencil. Akan tetapi perolehan danadari kenaikan tarif ini jauh melampaui kebutuhan investasi Program Listrik Pedesaan yang telah dicanangkan oleh PLN dalam Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik 2016-2025.Dalam dokumen perencanaan tersebut, kebutuhan dana pembangunan infrastruktur kelistrikan daerah terpencil sebanyak Rp 3 triliun pada tahun 2016, dan Rp 3,6 triliun pada tahun 2017 (hanya sekitar 13 persen dari potensi perolehan dana dari kenaikan listrik) . Program listrik pedesaan menargetkan penyedian infrastruktur listrik yang layak  bagi 12.659 desa terutama di kawasan timur Indonesia, sebanyak 2.519 desa diantaranya belum memiliki listrik sama sekali. Hingga tahun 2019 semua desa akan terlistriki.

Di samping itu, beban biaya APBN bagi program penyediaan listrik desa terpencil  diperingan dengan program Indonesia Terang yang telah dirancang olehKementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, menggali pendanaan diluar APBN.

Dengan begitu,kenaikan tarif listrik tahun 2017 sesungguhnya bukan untuk mendapatkan pendanaan bagi pengembangan listrik daerah terpencil. Dana yang dibebankan masyarakat golongan menengah ke bawah iniberpotensi jadi insentif bagi perluasan pemanfaatan energi kotor berbasiskan batubara.

Dalam rentang waktu 2016 hingga 2025, pemerintah berusaha membangun pembangkit listrik yang didominasi oleh pembangkit batubara, yakni sebanyak 34,8 GW (sebanyak 43,2 persen dari jenis pembangkit yang akan dibangun). Negara-negara pemilik teknologi PLTU batubara yang telah mulai ditinggalkan memberikan berbagai fasilitas pinjaman agar proyek PLTU Batubara dapat dibangun.

Tarif listrik Indonesia tergolong tinggi dibanding negara lainnya di kawasan ASEAN. Tarif listrik Indonesia hanya lebih murah dibandingkan dengan Singapura dan Filipina. Beberapa negara tersebut, seperti Vietnam, Thailand, Malaysia adalah pengimpor batubara dari Indonesia, namun menyediakan listrik dengan harga yang lebih murah bagi rumah tangga.

Pemerintah masih punya ruang menghindari kenaikan harga listrik dengan melakukan efesiensi dalam perencanaan kelistrikan. Beberapa perencanaan listrik yang tidak berjalan menyebabkan pemborosan uang negara. Contohnya adalah proyek transmisi arus searah tegangan tinggi Sumatera-Jawa. Pemerintah telah menandatangani pinjaman dari JICA Jepang sebesar 36.994 juta yen dengan bunga 1,4 persen per tahun sejak April 2010. Sejak itu, anggaran negara telah keluar sebanyak Rp 360 miliar hanya membayar bunga, sementara itu proyek tidak kunjung dilakukan. Pemerintah sebaiknya segera menegosiasikan program pinjaman ini untuk dibatalkan, atau dialihkan untuk proyek pengembangan energi terbarukan. Instrumen lain dapat digunakan adalah pengalihan dana hutang untuk pengembangan energi terbarukan di daerah pinggiran, seperti yang telah dilakukan pemerintah untuk sektor kehutanan.

Pengembangan energi terbarukan dengan memanfaatkan sumber energi lokal adalah pilihan baik belajar dari pemborosan dana investasi membangun PLTU Batubara skala kecil yang banyak mengalami kegagalan operasi. Dan hal ini dapat ditempuh tanpa menaikkan harga listrik bagi konsumen. [***]

Penulis adalah aktivis lingkungan dan peneliti kebijakan energi

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA