Kedaulatan Pangan Cuma Mimpi

Impor Masih Jalan Terus

Kamis, 20 Oktober 2016, 10:29 WIB
Kedaulatan Pangan Cuma Mimpi
Foto/Net
rmol news logo Serikat Petani Indonesia (SPI) menyatakan keprihati­nannya atas situasi Indonesia terkait peringatan Hari Pangan Sedunia pada 16 Oktober. Sampai saat ini, kebi­jakan impor pangan masih berlanjut dengan dalih untuk mengendalikan harga pangan. Bahkan impor pangan terus meningkat tajam.

Ketua Umum SPI, Henry Saragih menuturkan, terkait impor beras, besaran impor sempat turun di tahun 2013, namun kembali naik sepanjang tahun berikutnya. "Hingga Juli 2016 saja, angka impor beras telah menembus 1,09 juta ton, melam­paui impor beras sepanjang 2015 sebesar 0,86 juta ton," ujarnya.

Selain beras, jumlah impor gandum terus meningkat. Dalam periode Januari hingga Juni 2016, angka impor gandum telah menembus 5,85 juta ton. Departemen Pertanian Amerika Serikat (USDA) bahkan mem­perkirakan impor gandum Indonesia tahun 2016 akan men­capai angka 8,10 juta ton.

"Dengan impor sebanyak itu, Indonesia merupakan importir gandum terbesar nomor dua di dunia setelah Mesir yakni 11,50 juta ton," ungkapnya.

SPImencatat, dibalik gencar­nya upaya Kementerian Pertanian mendorong produksi pangan, jutaan petani malah meninggal­kan profesinya. Dalam dua tahun terakhir jumlah penduduk usia 15 tahun ke atas yang bekerja di sektor pertanian turun sebesar 2,54 juta orang atau 6,22 persen dari 40,83 juta pada Februari 2014 menjadi 38,29 juta orang pada Februari 2016.

Menurut Henry, berkurangnya jumlah petani tersebut disebab­kan tiga faktor. Pertama, profesi petani tidak mampu dijadikan mata pencaharian untuk memenuhi kebutuhan ekonomi sehingga beralih ke profesi lain.

Kedua, petani terpaksa men­inggalkan profesi petani dikar­enakan tidak lagi memiliki lahan pertanian untuk diusahakan, baik itu disebabkan pengusiran akibat konflik agraria maupun desakan ekonomi untuk menggadaikan atau menjual tanahnya.

Ketiga, buruh tani harus tersingkir akibat kebijakan me­kanisasi pertanian yang gencar dilakukan oleh Kementerian Pertanian. "Ketiga faktor terse­but tersebut memiliki akar per­masalahan yang sama, yakni tidak adanya jaminan perlindun­gan dari negara terhadap petani," tegasnya.

Henry menerangkan, minim­nya perlindungan harga terh­adap petani pangan, khususnya padi dapat dilihat dari kebijakan Harga Pokok Penjualan (HPP) yang ditetapkan pemerintah. Penetapan HPP selama ini di­anggap tidak layak karena tidak sesuai dengan biaya produksi yang dikeluarkan oleh petani. Akibatnya terdapat disparitas harga yang jauh antara HPP dan harga jual petani.

SPIjuga menyayangkan, langkah sejumlah kementerian berlomba-lomba menggembar gemborkan kedaulatan pangan, tanpa memahami makna sejatinya kedaulatan pangan. Pada akhirnya arah kebijakan yang diambil tak jauh dari aroma kepentingan modal dan pasar, hanya menye­matkan kata 'kedaulatan pangan' yang telah dimanipulasi.

Menurutnya, sudah selayaknya pemerintah menegaskan kiblat­nya dalam urusan kebijakan pangan, menghadap kepentingan pasar (neoliberal) atau kedaula­tan pangan yang sejati. "Jangan memanipulasi rakyat dengan slogan kedaulatan pangan, na­mun arah yang dituju adalah sebaliknya," kritiknya.

Wakil Ketua DPR Fadli Zon mengatakan, tantangan Indonesia dalam urusan pangan akan semakin berat ke depannya. Salah satu indikatornya adalah tingginya angka impor dan de­fisit perdagangan pangan.

"Sejak 2007 Indonesia menga­lami defisit perdagangan pangan. Impor pangan melejit lebih cepat daripada ekspor, sehingga defisit terus melebar. Laju permintaan pangan di Indonesia kini men­capai 4,87 persen per tahun, dan tak mampu dikejar oleh kemampuan produksi nasional," ujarnya di Jakarta.

Diungkapkannya, akibat ting­ginya permintaan konsumsi pan­gan di Indonesia, angka nilai impor Indonesia masih tinggi dan semakin meningkat dibanding dengan tahun sebelumnya. ***

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA